Korantangerang.com – Polemik seputar kebijakan perpajakan pemerintah dalam RUU KUP masih bergulir dengan pemerintah maupun DPR belum memberikan penjelasan yang memadai. Persoalan yang menjadi kontroversi dalam RUU ini menyinggung soal dikeluarkannya dua jenis barang dan 11 jenis jasa dari daftar bebas PPn.
Sebenarnya, masih banyak hal yang harus dikritisi dari rencana kebijakan perpajakan pemerintah kali ini. Selain PPnBM yang telah diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan(PMK) Nomor 20/PMK.010/2021 pada februari lalu yang intinya pengenaan pajak 0% untuk barang Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Tertentu.
Dalam RUU KUP kali ini juga diatur kebijakan pemerintah mengenai pengurangan PPh untuk korporasi, juga rencana tax amnesty II.
Dalam banyak literatur ekonomi, pajak dianggap sebagai komponen penting berjalannya roda perekonomian suatu negara. Pajak merupakan alat bagi pemerintah untuk melakukan kebijakan fiskalnya, yaitu untuk mempengaruhi stabilitas dan menjaga aktifitas ekonomi dalam masyarakat.
Salah satu fungsi terpenting pajak adalah redistribusi pendapatan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Dengan fungsi ini diharapkan geliat ekonomi di tengah masyarakat berjalan dengan aktif. Yang pada akhirnya akan mempengaruhi keseimbangan kas negara, serta menjaga stabilitas ketahanan ekonomi masyarakat.
Akan tetapi dengan rencana kebijakan perpajakan pemerintah dalam RUU KUP ini, pajak telah kehilangan fungsi tersebut.
Sebab mudah dilihat, apabila rencana kebijakan ini benar-benar direalisasikan akan meningkatkan harga pangan dan mengancam ketahanan pangan.
Kebijakan ini juga akan mempengaruhi perekonomian Indonesia secara keseluruhan karena akan berdampak pada konsumsi masyarakat. Sementara itu, pengenaan PPn pada 11 sektor jasa seperti jasa pendidikan, kesehatan dan tenaga kerja misalnya akan berdampak negatif pada masa depan Indonesia secara keseluruhan.
Dengan hilangnya fungsi dan manfaat pajak itu, di saat rakyat tengah kesulitan karena pandemi, maka beban rakyat akan semakin besar. Selanjutnya, kesempatan berusaha dan berproduksi masyarakat akan semakin tertekan, pasar akan mati dan kondisi rakyat akan semakin memburuk, pada akhirnya penerimaan negara juga bukannya meningkat, semakin lama malah semakin menurun.
Penerapan dan pelaksanaan kebijakan perpajakan harus hati-hati, karena pada dasarnya sistim dan mekanisme pajak penuh resiko dan sangat sensitif. Pemerintah hendaknya harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran yang proporsional, serta menghargai hak milik masyarakat dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan.
Bila itu tidak dilakukan dengan benar, alih-alih memberi manfaat dan kesejahteraan, malah menjadi sebuah bentuk kedzaliman dan penindasan yang dilakukan penguasa.
Oleh karena itulah, tradisi Islam sangat berhati-hati soal pajak, bahkan nash-nash otoritatif menyimpulkan penarikan pajak sebagai sebuah bentuk kedzaliman dan kebatilan, sehingga dilarang untuk dilakukan.
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” (HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7).
Meski demikian, tidak dipungkiri dalam literatur Islam pun terdapat sistim pajak yang dikenal dengan istilah dharibah. Yaitu harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129).
Sehingga baik dari segi konsep maupun penerapan memiliki perbedaan yang mendasar dengan sistim dan konsep perpajakan sebagaimana yang selama ini diadopsi dari literatur ekonomi barat.
Dalam islam, pajak bukanlah pemasukan yang bersifat tetap, itu hanya dilakukan sewaktu-waktu, ketika baitulmaal (kas negara) dalam keadaan bear-benar kosong, dengan tata cara sesuai dengan yang dianjurkan syariat.
Bila terdapat pembelanjaan yang diwajibkan atas Baitulmal dan kaum muslimin, dan dalam Baitulmal ada harta, maka dibiayai oleh Baitulmal. Jika tidak ada, kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Sebab, jika tidak, akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum muslim.
Untuk menghindari dharar saat Baitulmal tidak ada dana inilah, diperbolehkan menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai atau Baitulmal mempunyai dana untuk menutupinya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum).
Itupun dengan kondisi-kondisi sesuai dengan syariat, dan baru diperbolehkan diambil hanya sesuai dengan yang dibutuhkan, tidak lebih dari itu, serta hanya diambil dari orang-orang kaya, itu pun dari kelebihan harta mereka.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
“Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu” (HR Muslim dari Jabir).
Seseorang (Muslim) hanya menjadi wajib pajak apabila harta/pendapatannya mempunyai kelebihan setelah dikurangi kebutuhan pokok dan kebutuhan sekundernya terpenuhi.
Seseorang (Muslim) tidak menjadi wajib pajak apabila tidak mempunyai kelebihan, dan pajak tidak akan diambil dari nya.
Artinya, pajak dalam Islam tidak menekan daya beli dan ketahanan pangan, tidak juga menghalangi individu untuk menjadi kaya, serta tidak untuk menghalangi hak individu serta menghalangi kewajiban seseorang atas pribadi dan keluarganya.
Bukan juga alat yang dipergunakan untuk menambah kekayaan negara. Selain diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syariat.
Sebab, jika pajak dilakukan secara tidak proporsional atau mengambil pajak dari orang yang tidak wajib pajak, itu adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya secara tidak sah.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….” (QS An-Nisaa’: 29).
Sementara itu, pendapatan negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke baitulmal yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ialah: fai’ (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris.
Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan. Didalamnya juga tak ada satupun yang berhubungan dengan hak pribadi dan harta pribadi warga negara.
Kalau kita mau mengambil hikmah dari apa yang telah contohkan Rasulullah S.A.W, bisa diaktualisasikan dalam konteks ke Indonesiaan, bahwa pajak, baik PPN maupun PPh, hanya bisa dilakukan secara insidental (tidak tetap) ketika memang negara sangat membutuhkan.
Itupun dengan syarat-syarat tertentu yang tidak memberatkan masyarakat, terutama kaum miskin. Diambil dari orang-orang kaya, yang memiliki kelebihan harta setelah kebutuhan pokok, sekunder, dan keluarganya terpenuhi.
Pendapatan tetap negara seharusnya bersumber dari apa yang menjadi hak negara untuk menguasainya, sebagaimana konstitusi telah mengamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
Tetapi menjadi masalah ketika kekayaan bumi, air, dan alam Indonesia diserahkan pengelolaanya kepada pihak asing, bahkan mempersilahkan negara asing untuk merampok dan mengekspolitasi kekayaan alam Indonesia dengan tidak memperdulikan hak-hak warga negara.
Kemudian saat, kas negara defisit akibat kesalahan kebijakan dan ketergantungan pada negara asing dan luar negeri, kebijakan-kebijakan perpajakan pun digulirkan karena dianggap bisa menjadi solusi permasalahan keuangan negara.
Padahal rakyat sudah cukup menderita akibat banyak kebijakan pemerintah yang tidak memperdulikan kepentingan rakyat.
Sehingga Kebijakan perpajakan pemerintah melalui RUU KUP, menegaskan sikap pemerintah yang lari dari tanggung jawab, dan membebankan semua akibat dari kesalahan mereka sendiri kepada rakyat.
Seharusnya, pemerintah dan penguasa tidak lupa pada peringatan Rasulullah S.A.W, yang berbunyi: “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada dia.” (HR Muslim dan Ahmad).
Wallahu’alam
Allohu ya’khudzu biaidina ila maa fihi khoirun lil Islami wal Muslimin.
OLEH : Muhamad Yamin
(Direktur LBH PP Persis)