Kopi Indonesia Perlu Sentuhan Teknologi Untuk Bersaing Dengan Kopi Negara Lain


Jakarta – Indonesia merupakan negara produsen kopi terbesar keempat di dunia. Memang jika dilihat secara kuantitas masih di bawah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. hanya saja, jika dilihat dari luas negara, Indonesia masih kalah luas dari Brazil tetapi lebih luas dibanding Vietnam dan Kolombia. Artinya, produksi kopi Indonesia jika dimaksimalkan bisa mengalahkan negara-negara lain.

Meski Vietnam negaranya lebih kecil namun mereka punya kelebihan dari sisi produktivitas sumber daya manusia dan teknologi.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, saat ini, Kopi Indonesia yang terkenal di dunia antara lain kopi luwak, kopi Toraja, kopi Sumatera, dan kopi Jawa.

“Kopi Indonesia dikenal dan diakui di dunia karena kualitasnya tetapi identitasnya masih terpecah. Baik Vietnam dan Thailand, kelebihan mereka adalah mempunyai menu yang menyebutkan nama negara, misalnya Vietnam ice coffee dan Thai ice coffee. Usul saya adalah mulai memikirkan membuat menu minuman kopi Indonesia seperti es kopi atau lainnya untuk mengangkat nama Indonesia,” ujar Menteri Bambang.

Menurut Menteri Bambang, riset dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas kopi berdasarkan budidaya, penanaman, pengolahan pasca panen, proses produksi, dan peralatan yang dibutuhkan. Selain itu perlu diperhatikan penguasaan dalam hal pemasaran, baik dengan pengembangan produk yang diminati oleh pelanggan tidak hanya di Indonesia maupun seluruh dunia, menentukan target pasar, dan mengembangkan agro industri kopi home industri serta menerapkan sosial kemasyarakatan yang melibatkan beberapa insitusi, salah satunya adalah LIPI.

Riset berupaya untuk memberikan sentuhan teknologi untuk petani yang menjalankan perkebunan rakyat atau diberikan pada UMKM yang disebut riset dan penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) periode tahun 2005–2020. Mereka membutuhkan alat yang terjangkau, kualitasnya bagus, mudah dipakai, dan sesuai untuk luas tanah yang dikelola.

Penerapan ini sudah dilakukan di beberapa tempat, terutama di provinsi yang pendapatan daerahnya rendah seperti provinsi NTT, NTB, dan Bengkulu. Yang fokus dilakukan adalah penerapan TTG untuk proses dan alat, program ilmu pengetahuan teknologi daerah yang sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing, dan pendampingan UKM kopi.

Kata Bambang, Indonesia harus punya identitas yang jelas dengan brand kopi agar lebih mendunia. Daerah terbesar penghasil kopi di Indonesia berada di pulau Sumatera terutama provinsi Sumatera Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara, disusul dengan Jawa Timur di posisi keempat, Bengkulu dan Aceh, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

Sebagai akibatnya, 45 persen biji kopi Indonesia terserap oleh industri nasional. Artinya kopi yang diekspor adalah bubuk kopi yang sudah diolah sehingga mempunyai nilai tambah dengan nilai jual yang lebih tinggi. Lebih baik produksi kopi ditingkatkan, konsumsi tetap naik, tetapi peluang ekspor kopi tetap tinggi.

Produksi kopi di Indonesia rata-rata 600 ribu ton per tahun dengan luas area 1,3 juta hektar dan menyuplai tujuh persen kebutuhan kopi dunia. Kopi merupakan komoditas ekspor non migas keenam terbesar selain batubara dan sawit. Kopi Indonesia diekspor ke Jepang dan Amerika Serikat sebagai pasar terbesar dan dianggap sebagai sasaran utama, disusul Malaysia, Italia, dan Jerman. Sekitar 96,06 persen kopi Indonesia berasal dari perkebunan rakyat, 1,86 persen berasal dari perkebunan negara, dan sekitar 2,08 persen dari perusahaan swasta.

“Kalau para diplomat mempromosikan kopi Indonesia artinya mempromosikan kesejahteraan rakyat karena dampaknya langsung pada petani. Kalau ingin meningkatkan produksi kopi maka harus mendorong monokultur di tingkat perkebunan rakyat atau menciptakan model intiplasma, intinya adalah perusahaan dan plasmanya adalah para petani,” terang Menteri Bambang.

Salah satu daerah yang mengimplementasikan TTG berada di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Di NTT, sistem TTGnya yang terdiri dari pengembangan dan penerapan teknologi dengan melihat kajian dari potensi desa. TTG itu akan membantu dukungan pengembangan ekonomi rakyat, optimasi sumber daya lokal, serta sosial bisnis kopi yang tidak hanya sebagai kegiatan perkebunan tetapi sebagai elemen ekonomi daerah mengingat NTT merupakan daerah yang mempunyai sumber daya terbatas.

Perekonomian Sumba sangat tergantung pada pariwisata dengan skala kecil membutuhkan juga kegiatan ekonomi rakyat melalui pengembangan kopi sehingga bukan hanya sekedar menambah produksi kopi tetapi meningkatkan ekonomi lokal.

TTG yang dilakukan adalah budidaya intensifikasi pertanian, menggunakan alat modern baik mesin atau manual untuk pengupasan kulit kopi, sistem pendinginan dan pengeringan kopi yang menggunakan mesin, proses penyangraian kopi menggunakan roaster, serta pengemasan kopi yang lebih menarik dengan bahan alumunium foil.

Menurut Menteri Bambang, peningkatan yang dihasilkan melalui sentuhan TTG telah menghasilkan kopi yang bermutu tinggi dan jangkauan pemasarannya lebih luas. Dari kegiatan riset disamping telah menghasilkan publikasi ilmiah telah dihasilkan pula dua prototipe yang diterapkan di satu daerah, satu paten yang terdaftar, empat UMKM yang sudah dibina, 17 kader TTG, dukungan dari Pemda melalui APBD dan CSR dari BI dan BRI, dan mulai dikenal.

Produksi kopi Sumba naik sebesar 80 persen dengan kenaikan jumlah produksi yang semula delapan kg menjadi 30 kg per bulan, dan koperasi yang dibina sudah mendapat bantuan sehingga kopi Sumba dapat ikut serta berkompetisi dan bersaing dalam kopi nasional yang dinilai penting untuk menaikkan branding tidak hanya di tingkat nasional maupun internasional.(*/siberindo.co).


Next Post

Topan Malove Porak Porandakan Vietnam

Kam Okt 29 , 2020
Korantangerang.com – Vietnam telah mengerahkan mesin berat dan ratusan tentara untuk mencari korban yang terkubur di bawah tanah longsor yang […]