Korantangerang.com – Sudah sangat dikenal kisah Rasulullah S.A.W yang mempersatukan kelompok-kelompok elit Arab saat semua ingin tampil sebagai kelompok paling terhormat sebagai peletak hajar aswad ke Kakbah yang baru saja direnovasi. Kelompok siapa saja yang ditugasi meletakkan kembali hajar aswad ke Kakbah, itulah kelompok yang paling terhormat.
Muhammad Al-Amin tampil dengan gagasan cerdasnya yang merangkul dan mensejajarkan seluruh kelompok di posisi yang sama terhormat. Muhammad membentangkan selendangnya.
Beliau sendiri yang meletakkan hajar aswad di tengah-tengah selendangnya itu. Lalu para elit kelompok Arab memegang ujung selendang dan menggotong selendang itu menuju Kakbah, kemudian Muhammad menyimpannya sendiri ke Kakbah.
Semua merasa puas atas gagasannya. Semua merasa paling terhormat, dengan posisi yang sama dan setara. Muhammad berhasil menyatukan rasa dan pemikiran kelompok-kelompok elit Arab itu karena semua merasa diperlakukan adil, tanpa diskriminasi. Sekaligus, Muhammad berhasil memelihara ukhuwwah para elit kelompok Arab.
Muhammad, jauh sebelum jadi utusan Allah, sudah memperlihatkan gaya kepemimpinannya dan masih harus diteladani oleh setiap orang yang ingin jadi pemimpin. Muhammad berhasil mengatasi perpecahan dan kebuntuan, sekaligus ukhuwwah mereka pun terjaga dan terpelihara.
Hijrah dan Muaakhaat
Di Madinah, sesaat setelah hijrah dari Mekah. Rasulullah S.A.W selain membangun masjid, juga memrogramkan muaakhaat, yakni membangun persaudaraan antarindividu atau kelompok. Rasulullah S.A.W me-muaakhaat-kan seseorang dengan seseorang yang lain sehingga terasa memiliki hubungan khusus yang lebih dekat, lebih akrab, lebih terbuka. (dalam bahasa Sunda : dulur atau batur pakumaha).
Rasulullah S.A.W membangun komunikasi antar pribadi, komunikasi yang komunikatif, hangat dan hidup anta rpibadi. Dari hubungan dasar yang hangat inilah kemudian terbangun fondasi utama kebersamaan dan hubungan-hubungan sosial yang lebih kokoh.
Orang mukmin dan orang mukmin itu laksana sebuah bangunan, sebagaimana bunyi hadis riwayat Al-Bukhary, At-Tirmidzy, An-Nasa’i dan Ahmad.
“Bangunan” itu mustahil tercapai tanpa diawali sebelumnya oleh hubungan-hubungan antara pribadi yang komunikatif, hangat dan hidup.
Hanyalah kaum mukmin itu bersaudara.
Al-Hujuraat ayat 10 menyebut seperti itu.
Persaudaraan tanpa hubungan komunikasi yang komunikatif, hangat dan hidup, pastilah persaudaraan semu. Oleh karena antarmukmin itu bersaudara, lalu kalau terjadi perbedaan, maka ayat 10 berikutnya memerintah ishlaah di tengah-tengah pergaulan persaudaraan itu. Ishlah adalah pintu utama menuju persatuan dan harmonisasi.
Khotbah Terakhir
Khotbah Rasulullah S.A.W di Mekah, 09 Zulhijjah 10 H itu, ternyata memang yang terakhir, karena seperti beliau nyatakan sendiri di hadapan 140.000-orang sahabatnya, “Tahun depan, mungkin saya tak akan bertemu lagi dengan kalian…”.
Dan memang, Rasulullah SA.W kemudian wafat sebelum genap setahun setelah khotbahnya itu. Haji ini dikenal dengan Haji Wada’ (Haji Perpisahan). Khotbahnya pada Haji Wada’ ini disebut para penulis sejarah sebagai khutbah yang agung : khotbahnya yang magnum opus.
Salah satu isi khotbahnya, bahwa muslim dan muslim itu bersaudara. Meski bersaudara, seorang muslim dilarang mengambil hak saudaranya itu kecuali atas izin atau atau persetujuan saudaranya itu. Ada ajaran penghormatan terhadap wilayah pribadi-pribadi muslim yang lain.
Kalau Rasulullah S.A.W mengingatkan persaudaraan di hadapan lautan para sahabatnya itu, dan menekankan bahwa muslim dan muslim itu bersaudara, sungguh sangat tepat sebagai fondasi terbangunnya kekuatan, kekuasan dan kemuliaan umat Islam.
Al-Qur’an dan Assunnah bertaburan ajaran ukhuwwah (persaudaraan). Bukan untuk makhluk yang lain, melainkan untuk manusia yang tidak akan pernah bisa hidup tanpa pergaulan. Manusia zoon politicon, seperti kata Aristoteles. Manusia hidup bermasyarakat dan berinteraksi, berkomunkasi satu sama lain.
Ukhuwwah dan silaturahim tali-temali.
Silaturahim bisa melahirkan ukhuwwah, atau ukhuwwah bisa pula melahirkan silaturahim seperti perjumpaan atau pertemuan secara fisik. Islam punya ajaran ukhuwwah, keberagaman dan ta’aaruf, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Hujuraat : 13.
Lalu, ukhuwwah kita bagi-bagi menjadi ukhuwwah insaniyah (hubungan persaudaraan karena sesama manusia), ukhuwwah wathaniyyah (hubungan persaudaraan karena sesama warga negara) dan ukhuwwah Islamiyah (hubungan persaudaraan karena sesama muslim). Kita bisa hidup tenang dan damai dalam keberagaman ukhuwwah, tanpa harus kehilangan identitas keseragaman masing-masing. (C.R. Nurdin)