Korqntangerang.com – Dalam literatur Sunda, ada pepatah “cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok”, artinya, setetes demi setetes air yang jatuh ke atas permukaan batu, lama-lama batu itu (kalah) jadi berlubang. Air itu lemah, tetapi ternyata mengandung kekuatan di balik “lembutnya” air itu.
Air itu lemah, soft berbeda dengan batu yang keras, hard. Tetapi, batu yang keras itu lama-lama jadi berlubang juga setelah sekian lama tertimpa tetes demi tetes air yang jatuh ke permukaannya.
Pepatah itu mengingatkan, bahwa kerja keras berkesinambungan, tekad yang kuat dan keras akan membawa hasil. Itulah semangat berair-air, semangat tetes demi tetes air yang jatuh ke permukaan batu, sampai berlubang. Ada pepatah bahasa Arab man jadda wajada (siapa saja yang bersungguh-sungguh, pasti berhasil).
Konon, seorang santri belajar di pesantren, tetapi sangat susah, sampai akhirnya memutuskan pulang saja. Dalam perjalanan pulang, turun hujan lebat, lalu masuk ke dalam gua. Disinilah, sang santri melihat “cikaracak ninggang batu” (tetes demi tetes air yang jatuh ke permukaan batu) yang lambat laun jadi legok” (lama-lama batu itu berlubang juga).
Sadar apa yang dilihatnya, dan jadi renungan, bahwa batu yang keras itu kalah pula oleh air yang lembut dan lemah. Tak jadi pulang kampung, santri ini ke pesantren lagi, lalu belajar sekeras dan sekuat mungkin.
Sang santri belajar dari semangat berair-air. Dia kemudian jadi ulama besar. Siapa ulama itu? Banyak yang menisbahkan kisah tetes-tetes air atau gemerincik air ke atas batu itu kepada Ibnu Hajar Al-Asqalany, si Anak Batu dari Asqalan, (sebuah tempat dekat Gaza, Palestina).
Hajar sendiri dalam bahasa Arab artinya batu. Hajar Aswad di Kabah, Masjidil Haram, artinya, batu (warna) hitam. Sejumlah juru dakwah menyampaikan dalam kisah si Anak batu itu dalam dakwahnya. Kisah ini ditulis juga jadi materi pelajaran Al-Qur’an dan Hadis untuk peserta didik madrasah ibtidaiyah kelas 6.
Tetapi, benarkan dia Ibnu Hajar Al-Asqalany, ulama penulis tafsir (syarah = penjelasan) kitab hadis Al-Bukhary, Fathu ‘l-Baary bi Syarhi Shahiihi l-Bukhaary yang belasan jilid itu?. Menurut ulama yang lain, kisah gemerincik air yang menimpa batu sampai berlubang lalu jadi inspirasi dan memotivasi belajar Ibnu Hajar Al-Asqalany adalah hoaks.
“Memotivasi belajar boleh, tetapi tidak sambil berdusta atas nama Ibnu Hajar Al-Asqalany,” kata ulama tadi.
Lalu mengapa dikenal dengan Ibnu Hajar, yang secara etimologis diakuinya memang terjemahannya si Anak Batu? Penjelasan ulama tadi, bahwa salah seorang leluhur Ibnu Hajar Al-Asqalany namanya Hajar, artinya memang batu. Dijuluki demikian, kata ulama tadi, karena leluhurnya ini pendiam, sampai-sampai diumpamakan dengan batu.(Syadzaraat Adz-Dzahab, 10/542).
Sebetulnya, selain Ibnu Hajar Al-Asqalany, masih ada Ibnu Hajar yang lain, yang sama-sama ulama, yang sama-sama penulis kitab berjilid-jilid tebal, juga yang sama-sama dilahirkan di Mesir, yakni Ibnu Hajar Al-Haytsamy.
Bedanya, Ibnu Hajar yang Al-Asqalany lahir pada tahun 773 H/1372 M, sedangkan Ibnu Hajar yang Al-Haytsamy lahir pada tahun 909 H/1503 M. Tempat wafat mereka berbeda, Al-Asqalany wafat di Mesir, sedangkan Al-Haytsamy wafat di Makkah.
Apakah yang dimaksud dengan “cikaracak ninggang batu” itu Ibnu Hajar yang Al-Haytsamy ini? Atau, ada Al-Haytsamy yang lain? (Dean Al-Gamereau).