Alumni itu ‘Allimniy
Korantangerang.com – Suatu malam, tahun 1978, di ruang kelas IV Tsanawiyah Pesantren Persatuan Islam (PPI) jalan Pajagalan, Bandung, Jawa Barat, Ustadz Abdurrahman menyampaikan taushiyah (wejangan) panjang ke sejumlah alumni PPI, diantaranya H. Endang Saifuddin Anshary MA (salah seorang putra tokoh Persis, K.H Isa Anshary).
“Kamu sekalian menyebut diri alumni, tetapi itu salah, kamu harus menyebut diri ‘allimniy (ajari aku!)” kata Ustaz Abdurrahman sambil mengarahkan tangannya ke dadanya, dan dengan sorot matanya yang tajam ke arah para “allimniy”.
Kalimat pendek dalam wejangan panjang inilah yang kemudian menyentak kami para alumni dan terutama Mang Endang, demikan putra K.H Isa Anshary itu biasa dipanggil, tampak terhenyak, menarik nafas panjang lalu manggut-manggut.
Gedung bundar, karena memang bentuknya bundar untuk kelas IV Tsanawiyah ketika itu, jadi semakin senyap. Kami terdiam begitu dalam, kalimat yang tak terduga itu. Boleh jadi, Mang Endang lah, lulusan S2 MacGill University (Canada) yang paling merasakan wejangan itu tembus ke jantung dan ubun-ubunnya, betapa pun pendidikan sudah tinggi, tetaplah harus ‘allimniy.
Para alumni yang dewasa itu hadir dan kini sudah almarhum, diantaranya Ustadz Entang Mukhtar, Ustadz Sobarna, Ustadz Ayat Hidayat, Ustadz Dedy Rahman, Ustadz Bastara dan lainnya.
Jadi Ketua Umum PP Persatuan Islam
Dalam bingkai alumni – ‘allimniy itu, alumni PPI Muallimin 76 kemudian menyelenggarakan reuni dari tahun ke tahun dan untuk tahun 2020 ini dijadwalkan di Kabupaten Bandung, akhir tahun.
Salah satu acaranya menghadirkan kembali suasana tahun 1976, saat-saat nyantri di PPI, gedung bundar, pasti dikenang, karena tempat lahirnya alumni – ‘allimniy, juga pangkal cerita tentang pucuk cemara di halaman gedung bundar, yang kini sudah tak lagi bernyanyi.
Kini, semua sudah jadi ruang kelas.
Nanti pada acara reuni alumni PPI Muallimin 76 itu ada sesi taushiyah ustadz yang akan dibacakan oleh putra atau putri masing-masing.
Maklum, dalam tubuh alumni PPI Muallimin 76 ada putri Ustadz Sudibdja, putra dan putri Ustadz Abdullah, keluarga Ustadz Syarief Sukandi, keluarga Ustadz Abdurrahman dan lainnya.
Wejangan para ustadz itu akan dibacakan dan dikenang kembali, untuk kami dengar lagi dan jadilah kami alumni yang ‘allimniy.
Alumni PPI Muallimin 76 rasanya sudah banyak yang berkiprah di Persis. Ustadz Dr. H. Uyun Kamiludin (ketua Bidang Maliyah PP Persis), Ustadz Yusuf Badri, M.Pd (dosen di STAIPI Bandung), Ustadz Aep Saepudin Widigdo (mudir Muallimin PPI 76 almamaternya), Ustadz Drs. Saefuddin Effendi (ustadz di PPI Pajagalan), Lilis Khaerul Bariyyah (PP Persistri), dan lain-lain. Tentu saja, keluarga besar Persis mengenal K.H Drs. Shiddieq Amien M.BA, alumni PPI 76, ketua umum PP Persis (wafat, Sabtu 31 Oktober 2009).
Ada yang unik dan mungkin menarik, alumin PPI 76 itu banyak yang menikah dengan teman sekelas atau adik kelas. Ustadz Yusuf Badri dengan Pupu Rahmi Puspita Ningsih (adik kelas), Ustadz C.R. Nurdin dengan A.Juaningsih (adik kelas), dan Ustadz Aep Saepudin Widigdo dengan Yuyun Sri Wahyuni (adik kelas). Mereka hidup berlanjut hingga kini dan selalu ikut setiap reuni. Ikut jadi gandengan dalam reuni.
Ada yang lebih seru, menikah dengan teman sekelas, Ustadz Nanang Jauhari (Cianjur) dengan Evi Fatimah (Sumedang), kedua-duanya sudah meninggal dunia. Lalu, Ustadz Shiddieq Amien dengan Ai Kurniasih. Rupanya, ada gita cinta dari pesantren, Ehm!
Kitab Subulu ‘s-Salaam
Ada mata pelajaran yang tak ada dalam jadwal pelajaran, tetapi itu penting dan membekas sampai kini. Ustadz Usman Solehudin mengajari kitab Subulu ‘s-Salaam, kitab yang saya anggap rumit, banyak sudut pandang dan pendapat, huruf Arab gundul lagi. Setiap santriwan dan santriwati harus membaca kitab itu, bergantian, sampai akhirnya tamat dalam satu atau dua hadis. Semua bisa membaca dengan tingkat kelancaran yang berbeda-beda.
Dari pelajaran baca kitab klasik Islam inilah, kemudian beberapa santriwan dan santriwati membentuk studi klub, khusus nahwu dan sharaf. Dua pelajaran inilah memang jadi kunci bisa membaca kitab klasik Islam itu.
Para alumni tahu, kemudian paham, pelajaran itu dipilih Ustaz, karena memang cukup kaya, berisi beberapa disiplin ilmu yang tak semua kitab klasik Islam ditulis seperti Subulu ‘s-Salaam ini.
Ada sejarah, bahasa, usul fikih, aliran pemikiran Islam, dan lain-lain. Semua jadi bekal dasar memahami kitab klasik Islam lebih lanjut, yang begitu banyak dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Ash-Shan’any menulis Subulu ‘s-Salaam itu dan tentu saja tak tahu bahwa santriwan dan santriwati PPI Muallimin 76 kemudian mengambil manfaat dari kitab klasik Islam nya ini. Saya tak tahu, apakah tradisi membaca kitab klasik Islam di ruang kelas, seperi zaman Muallimin lawas, masih berlanjut sampai kini atau sudah diganti dengan cara yang lain dalam upaya memahami kitab klasik Islam.
Ustadz Usman sudah meningalkan kami. Masih ingin melihat sosoknya dan menyaksikan keluasan dan kedalaman ilmunya, terutama fikih dan ilmu fikihnya?. K.H Wawan Shofwan Shalehudin, sang anak (yang fisik dan gaya bicaranya sama dengan sang ayah) selalu tampil dengan Pesantren Tahdzibul Washiyyah (Bandung). Anggota Dewan Hisbah PP Persatuan Islam terdahulu ini pun mengaji dan mengkaji di media sosial. Ilmu fikih Ustaz Wawan rasional, sampai ke otak dan ke hati.
Ustadz, Saya Minta Maaf!
Di PPI Muallimin 76 khususnya juga dipelajari ilmu-ilmu lain diluar ilmu-ilmu diniyah. Ada manajemen, administrasi dan organisasi yang diajarkan oleh Ustadz E. Bachrum. Ada tata hukum yang diajarkan oleh Ustaz Djoenaedie B.A. Terus terang, saya harus minta maaf sebesar-besarnya kepada kedua ustadz itu, maklum, ketika itu.tak begitu serius belajar ilmu-ilmu yang diajarkan mereka.
Baru 45 tahun kemudian, kedua nama ustadz itu diingat dan direnungkan, sangat serius di sebuah sudut gedung Mahkamah Konstitusi RI saat menyusun jawaban hukum atau jadi saksi kasus perselisihan hasil pemilihan umum.
Mengapa saya harus merenung? Karena menang dan kalah ditentukan oleh fakta-fakta di persidangan, bukan diluar persidangan. Kalau penyelenggara pemilu taat asas administrasi, organisasi dan manajemen penyelenggaraan pemilu ditambah dengan pemahaman ilmu hukum, terutama hukum tata negara, maju ke persidangan pun rasanya, melangkah dengan kepala tetap tegak.
Maka, maafkan saya Ustadz! ‘Allimniy dan manfaatnya mungkin akan terasa kemudian, bahkan sudah jauh dan lama meninggalkan bangku PPI Muallimin 76. Reuni Muallimin 76 di Pantai Pangandaran, di kaki Gunung Puntang, Kabupaten Bandung nanti (21 November 2020), juga untuk terus memelihara ‘alliminy, meski para alumni PPI Muallimin 76 itu banyak pula yang sudah jadi ustadz senior.
Ada reuni, ada silaturahim antarkami tahun-tahun terakhir ini untuk menghadirkan kembali sepenuhnya ingatan tentang tahun 1976. Tentu saja, kami sudah tak muda lagi. Hampir semua sudah punya cucu. Pohon cemara di halaman gedung bundar, tempat kami bermain dan berteduh, sudah tak ada lagi. Kini sudah jadi kelas, tempat adik-adik kami kini membaca kitab klasik Islam. (Dean Al-Gamereau)