Menyambut Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2024 ( Bagian Ketiga)


Peraturan Pers : dari Zaman Belanda Sampai Zaman Merdeka

Zaman Merdeka

Sejak zaman merdeka, Indonesia sudah melewati empat undang-undang pers : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 tentang Penambahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-Ketentuan Pers, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Pokok Pers, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers adalah undang-undang pers pertama pasca-Indonesia merdeka. Undang-undang ini berisi 10 bab dan 21 pasal. Dalam undang-undang ini, antara lain, berisi tentang kebebasan pers, sebagaimana bunyi Ayat (1), Pasal 5, Bab II, “Kebebasan Pers sesuai dengan hak asasi warga negara djamin”. Tidak ada sensor atau breidel, sebagaiamana bunyi Pasal 4, Bab II, “Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor atau breidel”. Pers memiliki hak-hak. Pasal 3, Bab II, UU Nomor 11/Tahun 1966 menyebutkan, “Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif”.
Undang-undang ini sudah cukup lengkap, melegakan wartawan, dan memang sebelumnya pasal demi pasal di atas diperjuangkan oleh wartawan. Soal kemudian ternyata ada breidel pers, intervensi penguasa, pers jadi organ partai politik, dan lain-lain, pada zaman Presiden Soekarno, memang akhirnya jadi bagian dari sejarah perjalanan pers Indonesia.

Pers Pancasila memberikan kemerdekaan atau kebebasan pers, tetapi khas kebebasan pers Indonesia, seperti yang dituangkan dalam Keputusan Dewan Pers Nomor 79/XIV/1974. Dalam keputusan Dewan Pers disebutkan, bahwa kebebasan pers di Indonesia meliputi Pancasila sebagai landasan idiil, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan strategis, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers serta segenap peraturan pelaksanaannya sebagai landasan yuridis, tata nilai sosial yang berlaku pada masyarakat Indonesia sebagai landasan kemasyarakatan, dan norma-norma kode etik profesional sebagai landasan etis.

Pers Pancasila itu dirumuskan dalam sidang pleno Dewan Pers di Solo (Jawa Tengah) pada tanggal 7 Desember 1984. Pers Indonesia adalah Pers Pancasila, yakni pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD`1945.

Apakah landasan demi landasan kebebasan atau kemerdekaan Pers Indonesia itu kini belum berubah? Tentu saja sudah berubah karena negara tanpa GBHN lagi, UUD 1945 sampai kini sudah empat kali diamandemen, dan undang-undang tentang Pers sudah diganti pula, bahkan penggantian secara menyeluruh.

Media massa cetak di Indonesia diatur oleh undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini merupakan lompatan terbesar selama ini, sejak terbit Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Media massa cetak memperoleh kemerdekaannya yang luar biasa sejak zaman Orde Reformasi, atau tepatnya sejak terbitnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Media massa cetak tumbuh subur, karena tak ada lagi aturan seketat pada zaman Orde Baru. Penerbitan Pers, pada zaman Orde Baru itu, sekitar 290-an buah, lalu tumbuh subur jadi 2.000-an buah pada era Pers zaman awal Reformasi. Tetapi kemudian, banyak penerbitan Pers berguguran, satu persatu, antara lain, karena tak bisa bersaing dengan penerbitan Pers yang sudah mapan atau karena memang modalnya lemah.

Terbitnya Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers itu, selain menyebabkan tumbuh suburnya media massa cetak,seperti disebut di atas, juga keberanian Pers jauh lebih besar, karena tak ada lagi breidel seperti pada zaman-zaman sebelumnya.

Media massa cetak sekarang ini boleh pula memasang iklan sebanyak-banyaknya. Pada zaman Orde Baru, iklan dibatasi, tidak boleh melebihi 30% dari seluruh halaman media massa cetak. Halaman media massa cetak pun dibatasi, tak boleh lebih dari 12 halaman.

Perkembangan Pers Indonesia kemudian, terutama pasca-Orde Reformasi, ditandai dengan tiga pemikiran seperti dilukiskan Ibnu Hamad, (dalam Waluyo : 2007 : 13), yakni (a) memberi basis yang kuat bagi lahirnya pers industri dengan menggeser gejala pers idealis, (b) mengundang para pemodal untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka, dan (c) memunculkan kelompok-kelompok usaha penerbitan pers.

(Dean Al-Gamereau, Sekretaris Dewan Penasihat PWI Provisi Banten 2019 – 2024)


Next Post

Supervisi Pengamanan Pemilu Serentak 2024, Tim Kompolnas Terjun ke Jawa Timur

Sab Feb 10 , 2024
Jelang hari pemungutan suara pada pemilu serentak 14 Februari 2024, tim Kompolnas terjun ke Provinsi Jawa Timur. Tim Kompolnas yang […]