Apa Itu Ulama Sebenarnya?


Korantangerang.com – Ulama itu kata jamak (plural) dari ‘aliimun (huruf /i/ dibaca panjang), yang secara etimologis (bahasa) berarti orang yang luas pengetahuannya (Abdullah bin Nuh : 1974 : 194).

Kata ‘aliimun (huruf /l/ dibaca panjang) tidak sama dengan ‘aalimun (huruf /‘a/ dibaca panjang), yang berarti orang terpelajar (Elias A. Elias : tanpa tahun : 700).

Ulama yang berbentuk kata jamak itu, kemudian sering kita maknai dan sudah lumrah kita maknai sebagai kata tunggal (mufrad). Kalau kita katakan, “Dia seorang ulama”, tentu salah menururt asal-usul bahasa karena ulama berbentuk jamak, sedangkan dia dan seorang berbentuk mufrad (tunggal). Tetapi, kalau kita katakan, “Mereka itu ulama”, tentu betul, karena mereka dan ulama termasuk kata jamak.

Sesungguhnya, banyak bentuk kata jamak yang yang berasal dari bahasa Arab, kemudian kita maknai dengan bentuk kata tunggal, seperti arwaah, jamak dari ruuh (nyawa/jiwa). Untuk yang meninggal dunia sering sekali kita dengar doa, “Semoga arwah beliau diterima di sisi-Nya”.

Nah, arwaah itu jamak dari ruuh. Kita yakin, bahwa setiap orang hanya punya satu ruh, satu jiwa. Tidak ada manusia yang mempunyai banyak ruh, atau mempunyai ruh cadangan. Tetapi, mengapa disebut arwah beliau? Karena memang kata jamak arwah disitu sudah dimaknai dalam bentuk kata tunggal.

Menurut Cyril Glasse (1996 : 417), ulama adalah orang yang diakui sebagai cendekiawan atau pemegang otoritas pengetahuan agama Islam. Para hakim, imam masjid besar, guru-guru di perguruan tinggi Islam, termasuk ulama. Mereka penentu dalam urusan keagamaan.

Alquran surat Fathir ayat 28 menyebut ulama sebagai para hamba yang takut kepada Allah. Mushaf Al-Qur’an Terjemahan, Edisi Tahun 2002, Departemen Agama RI menafsirkan ulama dalam ayat itu sebagai orang-orang yang mengetahui ilmu kebesaran dan kekuasaan Allah.

Kitab klasik Zubdatu ‘t-Tafsiir (ringkasan tasfsir Fat-hu ‘l-Qadiir karya Asy-Syawkaany) menyebutkan bahwa orang yang paling takut kepada Allah, itulah para ulama.

Kata Ibnu Abbas, “Orang yang berilmu, hakikatnya bukan orang yang banyak hadisnya melainkan orang yang banyak takutnya kepada Allah”.

Kata Anas bin Malik, “Ilmu itu tidak sebanding lurus dengan banyaknya riwayat. Ilmu itu cahaya di hati yang diberikan Allah (Ibnu Katsir, 1992 : 607).

Dengan cahaya itu, orang akan terbimbing, sehingga tidak tersesat. Ilmu itu cahaya pemandu qalbu (hati). Seperti orang yang berjalan di malam gelap, kemudian ada cahaya, tentu tidak akan tersesat. Maka, ilmu itu cahaya di alam terang dan gelap kehidupan.

Sangat menarik, ayat 27 surat Fathir sebelumnya, tidak berbicara tentang ilmu agama, atau ilmu ke-ulama-an tetapi justru berbicara tentang pengetahuan alam (lingkungan), tentang perbedaan warna dan jenis buah-buahan yang tumbuh subur setelah disiram air hujan. Ayat ini berbicara pula tentang perbedaan warna gunung dan perbedaan warna (kulit) manusia dan binatang.

Barulah ayat berikutnya (ayat 28), Allah berfirman, “Diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama”. Kata innamaa (hanyalah) dalam ayat itu menunjukkan “special edition bagi ulama sebagai hamba-hamba yang hanya takut kepada-Nya. Dengan demikian, ciri ulama itu hanyalah takut kepada Allah.

Rifyal Ka’bah, dalam bukunya Islam Fundamentalisme menunjukkan surat Fathir ayat 27 dan ayat 28 berkaitan, sehingga ulama bisa berarti luas, tidak hanya yang luas pengetahuan agamanya saja.

Kalau ulama itu dikembalikan pada arti asal, memang demikian adanya, sebagai orang yang luas pengetahuaannya. Oleh karena itu terjemahan ulama dalam bahasa Inggris adalah all-knowing yang berarti berpengetahuan luas dalam arti umum.

Meski begitu, sudah umum dipahami bahwa ulama adalah orang yang diakui pemegang otoritas keagamaan sebagaimana dirumuskan Ciryl Glasse. (Dean Al-Gaamereau)


Next Post

Pemkot Wajibkan Pemilik Usaha Bentuk Satgas Covid-19

Jum Sep 18 , 2020
Kota Tangerang – Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang mewajibkan kepada para pemilik usaha seperti pusat perbelanjaan, perkentaroan dan rumah makan termasuk […]