JURU DAKWAH (ULAMA) DI PINTU JAHANAM


Korantangerang.com – Ulama disebut dua kali dalam Al-Qur’an. “Di Antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama” (Fatir : 28). “Bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya”. Para ahli menyebut, ulama dalam Al-Qur’an tak saja disematkan kepada ahli ilmu agama, tetapi juga ahli ilmu sains (pengetahuan yang diperoleh melalui pembuktian dan pembelajaran).

Ulama, sebetulnya, kata jamak dari kata tunggal ‘aalim (yang berilmu, yang berpengetahuan). Lalu, jadi lumrah ketika ulama yang kata jamak (plural) itu jadi kata mufrad (tunggal), dalam bahasa kita sehari-hari. Bukankah, sering sekali kita dengar, “Dia seorang ulama yang rendah hati”. Ulama sudah jadi kata tunggal.

Ulama disebut pula dalam hadis, baik yang sahih maupun yang lemah. Hadis tentang ulama yang sahih, diantaranya, sebagai ahli waris (bukan pewaris) para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu” (Abu Darda, dicatat Imam Ahmad). Para ahli tafsir menyebutkan, pewarisan dalam hadis ini adalah kewajiban menyampaikan dan menyiarkan agama. Boleh jadi, dari hadis inilah kemudian definisi ulama jadi spesifik sebagai ahli ilmu agama, orang yang sangat memahami ilmu agama.

Hadis Khuzaifah bin Al-Yamani
Khudzaifah bin Al-Yamani berdialog dengan Rasulullah saw tentang kebaikan dan keburukan. Di antara dialog yang cukup panjang itu, Rasulullah saw menyebutkan adanya suatu zaman kejelekan lagi setelah adanya zaman kebaikan. Jawab Rasulullah saw, “Ya, akan muncul juru-juru dakwah (ulama) di pintu Jahanam. Siapa saja yang menerima seruan mereka, maka kamu akan ikut terjerumus (ke dalam Jahanam).

Khuzaifah penasaran, lalu meminta ciri-ciri juru dakwah (ulama) di pintu Jahanam itu. Jawab Rasulullah saw, “Mereka satu warna kulit dengan kita, juga berbicara dengan bahasa kita”. (Khudzaifah, disahihkan oleh Al-Albani).

Para ahli tafsir hadis menyebutkan, juru dakwah (ulama) di pintu Jahanam itu dari kalangan orang Arab, seperti kata Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Baari : 13/36). Abu Dawud menyebutkan, mereka dari keturunan Adam. Al-Qaabisi menafsirkan, mereka secara lahiriah dari kalangan muslim, tetapi batinnya bukan (al-manhaj.or.id).

Dua Begawan Wayang

Dalam cerita wayang (cerita sastrawan Indonesia, Ahmad Tohari) ada dua begawan (guru spiritual) : Abiyasa, guru spiritual negara Amarta, dan Dorna, guru spiritual negara Astina. Kalau negara Amarta menghadapi masalah keumatan atau kenegaraan, Pemerintah Amarta meninggalkan istana, lalu datang ke Padepokan Begawan Abiyasa untuk menerima nasihat.

Negara Astina, kalau sedang susah, bukannya meninggalkan istana, lalu mendatangi Padepokan Begawan Dorna, melainkan justru Begawan Dorna itu sendiri yang datang ke istana negara Astina. Lalu, apakah dua begawan dalam dongeng wayang ini dapat juga di-qiyas-kan (dianalogikan) dengan ulama? (Dean Al-Gamereau).


Next Post

Lapas Perempuan Tangerang Hadiri Sertijab dan Pengantar Purna Tugas Kepala LPKA Tangerang

Sel Jul 2 , 2024
Tangerang, (01/07). Kepala Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang beserta jajaran hadiri Serah Terima Jabatan dan Pengantar Purna Tugas Kepala LPKA […]