(Bagian ketiga dari tiga tulisan)
Teori Pers Pancasila
Teori pers berikutnya, teori Pers Pancasila yang lahir pada zaman Orde Baru. Konsep teori Pers Pancasila telah diperkenalkan sejak tahun 1980 seiring dengan pembahasaan rancangan undang-undang pers yang kemudian resmi jadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967.
Ketika itu, memang, DPR RI dan Pemerintah tidak bermaksud membangun teori Pers Baru, tetapi fokus pada :penyempurnaan” undang-undang tentang Pers. Pembahasan demi pembahasan undang-undang tentang Pers itu, sampai jadi undang-undang, kemudian oleh para ahli “dikemas” sebagai “bahan baku” pembangunan teori Pers Pancasila.
Pers
Undang-undang tentang pers terus berkembang, seiring dengan perkemnangan politik dan dinamika demokrasi di Indonesia. Undang-Undang Pers zaman Presiden Soekarno, zaman Presiden Soeharto, dan zaman Presiden BJ Habibie tidak selalu sama. Selalu ada perubahan, dan perubahan itu berdampak pula pada eksistensi Pers itu sendiri.
Seiring dengan berakhirnya Orde Baru, maka undang-undang pers pun lahir yang sama sekali baru dan reformatif, yakni Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sampai saat ini, undang-undang ini masih belum diamandemen,
Sebelum Arifin menulis tentang Pers Pancasila, Wonohito menulis sistem pers Pancasila, dalam bukunya, Sistem Pers Pancasila, diterbitkan Departemen Penerangan RI, tahun 1977. Dalam bukunya ini, pemimpin redaksi harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta ini menyebutkan bahwa pers tidak mempunyai kehidupannya sendiri, melainkan dipengaruhi dan mempengaruhi lembaga kemasyarakat yang lain-lain. Bersama social institution yang lain, pers berada dalam keterikatan suatu unit organis, yaitu masyarakat tempat pers beroperasi (Wonohito, 1977 : 3).
Wonohito menyebut Pers Pancasila jadi latar belakang sistem Pers Pancasila. Dengan merujuk asas-asas Pancasila itu, terlahir enam asas Pers Pancasila yang diadaptasi Wonohito, yakni sistem politik (sistem politik), gotong royong rakyat – pemerintah jadi sistem memerintah, manusia Indonesia yang berkeseimbangan lahir batin jadi sistem pendidikan, koperasi kekeluargaan jadi sistem ekonomi, bebas berteposliro pemerintah – parlemen jadi sistem komunikasi massa, dan boleh dan berimbang jadi hak asasi manusia lain (Wonohito, 1977 : 71).
Wonohito memasukkan Pancasila di belakang sistem Pers Pancasila. Unsur bebas ber-teposliro disebutnya sebagai sistem komunikasi massa (Indonesia). Unsur ber-teposliro mengacu pada adat istiadat Jawa khususnya, yang menekankan tenggang rasa yang dijunjung tinggi, dan bisa menjadikan manusia mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan tuhan.
Di Indonesia, kota yang mendapatkan gelar City of Tolerance adalah Yogyakarta (2005). Tepo seliro atau tolerance salah satu kearifan lokal di Yogyakarta, yang kemudian dijadikan pedoman dalam sikap toleransi. Wonohito, dengan koran Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, terinspirasikan kearifan tepo seliro, lalu dijadikan sistem komunikasi massa Indonesia.
(Dean Al-Gamereau. Sekretaris Dewan Penasihat PWI Provinsi Banten masa jabatan 2019 – 2024).