Korantangerangcom – A. Hassan termasuk generasi kedua penerjemah (sekaligus penafsir) Al-Qur’an, di Indonesia. Penerjemah dan penafsir pertama, seorang guru dan sastrawan, Syekh Abdurrauf As-Singkili (abad 17).
Lebih jauh, zaman Nabi Muhammad SAW ada Jafar bin Abu Thalib RA yang menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa setempat, di hadapan Raja Najasyi, di Habasyah (Afrika). Raja kemudian masuk Islam.
Al-Furqan, terjemah dan tafsir Al-Qur’an karya A. Hassan itu disusun pada tahun 1828.
Terjemah dan tafsir, tentu saja berbeda. Ayat yang berkaitan dengan saum, Al-Baqarah 187, ada tali putih dan tali hitam, ada pula pakaian. Ini terjemahan. Tafsirnya, tak seperti itu, dan bisa kita baca pada Al-Furqan. Pesan A. Hassan, “Jangan faham dari terjemahan”.
Kalau kita telaah pula, Al-Furqan menempatkan /bismillah/ sebagai pembuka surat Al-Fatihah, tak diberi
nomor 1 sebagai ayat 1 Al-Fatihah (cetakan 2021). Pada Al-Qur’an yang lain, cetakan Kemenag RI misalnya,
/bismillah/ sebagai ayat 1.
Penjelasan A.Hassan sendiri,
/bismillah/ di setiap permulaan surat itu termasuk ayat Al-Qur’an, tetapi tidak dihitung sebagai ayat pertama”.
Perdebatan ulama terdahulu : apakah
/bismillah/ termasuk Al-Fatihah atau tidak? Lalu, muncul diskusi fikhiyah, sah tidaknya salat kalau tidak membaca
/bismilllah/ dalam Al-Fatihah.
Tapi, A. Hassan memilih memasukkan
/bismillah/ ke dalam Al- Fatihah, karena, kata beliau, ini yang lebih
menenteramkan (Dean Al-Gamereau).