ABU BAKAR DAN DWITUNGGAL MUHAJIRIN – ANSAR


Korantangerang.com – Hampir saja, umat Islam “terbelah”, ukhuwwah Islamiyah yang sudah kokoh nan teguh terbangun sebelumnya kemudian nyaris pecah, pasca-Rasulullah S.A.W wafat. Kaum Ansar menginginkan Saad bin Ubadah (seorang kepala kaum Khazraj) tampil sebagai sebagai kepala negara, menggantikan Rasululullah S.A.W.

Di sebuah ruang pertemuan, Tsaqifah Bani Saidah, kaum Ansar (muslim Madinah) menyeru kepada kaum Muhajirin (muslim asal Makah), “minnaa amiirun wa minkum amiirun” (kita punya pemimpin masing-masing saja!). Abdurrahman bin Abu Quhafah bin Amir atau kita mengenalnya Abu Bakar, yang hadir dalam pertemuan itu, menyela, “nahu ‘l-umaraa wa antum mal-wuzaraa (kami pemimpin, sedangkan kamu perdana menterinya).

Seorang sahabat, Habbab bin Al-Mundzir menolak, “Demi Allah, tak akan kami lakukan! Kita (kaum Ansar dan kaum Muhajirin) punya pemimpin masing-masing saja”. Sekali lagi Abu Bakar menegaskan, ‘Tidak! Kami umaraa (pemimpin) dan Anda wuzaraa (perdana menteri).

Ditengah-tengah perdebatan, hadirin Saqifah Bani Saidah mau mem-bay’at (mengambil sumpah setia) menyodorkan dua orang terbaik : Umar bin Khattab atau Abu Ubaydah bin Al-jarrah. Umar menoleh kepada Abu Bakar, “Sebetulnya, saya ingin mem-bay’at Anda, karena Andalah yang terbaik di antara kami, dan paling dicintai Rasulullah”.

Umar segera mengambil tangan Abu Bakar untuk mem-bay’atnya, lalu diikuti oleh kaum Muhajirin dan kaum Ansar. Abu Bakar sendiri, ditengah-tengah perdebatan, sebelumnya mengajukan dua calon utama pengganti Rasulullah S.A.W yaitu Umar sendiri dan Abu Ubaydah bin Al-Jarrah.

“Saya rela, silakah pilih salah seorang di antara mereka,”ujarnya.

Catatan penting disini. Ada kalimat yang mengajak “terbelah”, yakni minnaa (masing-masing saja). Tetapi, Abu Bakar tampil dengan koreksi dan semangat persatuan Islam, persatuan umat Islam : “ nahnu” dan “antum” yang tetap dalam satu wadah dengan semangat satu kesatuan kedaulatan Islam, tetapi berbagi peran dan pesan : seorang jadi amir dan yang lain jadi wazir.

Ada relasi struktural amir dan wazir. Minnaa adalah ajakan untuk kedaulatan masing-masing, tanpa relasi struktural, dan hanya relasi kultural. Penyelesaian konflik kaum muhajirin dan kaum Ansar itu sekaligus pula sebagai pemeliharaan ukhuwwah Islamiyah di kalangan umat Islam pada waktu itu.

Abu Bakar tampil sebagai pemersatu pada saat-saat kegentingan terjadi, pada saat umat Islam terancam “terbelah”, bukan soal Al-Qur-an, Assunnah, kiblat, atau Ka’bah, melainkan soal riyaasah (kepemimpinan) dan siyaasah (politik). Abu Bakar menggunakan jalan tengah, tak berpihak kepada Muhajirin, juga tak berpihak kepada Ansar, tetapi kedua-duanya “dirangkul” dalam “dwitunggal” Amir dan Wazir.

Bagi Abu Bakar, Muhajirin dan Ansar hanya bisa dibedakan, tapi tak bisa dipisahkan. Semangat Abu Bakar, dan “Abu Bakar” berikutnya, pasti diperlukan sepanjang masa, piawai memadamkan konflik, pengambil kebijakan yang tak melukai siapa pun atau pihak mana pun. Abu Bakar berhasil memelihara dwitunggal Muhajirin – Ansar!.

Nyatanya kini, orang yang beribadah haji atau umrah ke tanah Amir (Muhajirin, Makkah), mesti saja ziarah ke tanah Wazir (Ansar, Madinah). Makkah dan Madinah jadi dwitunggal. Ada sentuhan Abu Bakar disitu. (C.R. Nurdin)


Next Post

Jadi Percontohan Nasional, Kampung Jawara Tangsel Dilaunching Kapolri

Jum Jul 10 , 2020
SERPONG UTARA – Kapori Jenderal Pol Idham Azis meresmikan Kampung Tangguh Nusantara. Dalam peresmian tersebut secara daring Kapolri melaunching Kampung […]