Sepatu Kanan Perdana Menteri
Kalau saja orang biasa menghadiri sebuah upacara resmi sekalipun, kemudian terpeleset, jatuh, dan sepatu lepas, tentu tak akan banyak menarik perhatian, apalagi akan jadi berita di media massa. Namun, oleh karena sepatu itu lepas dari kaki seorang perdana menteri (dari kaki kanannya), maka jadilah berita, diliput media massa cetak dan elektronik.
Wartawan televisi begitu gesit, dan berhasil mengabadikan kaki sang perdana menteri Australia 2010 – 2013 ini (Julia Eileen Gillrad), yang hanya bersepatu sebelah kiri, persis pada saat-saat gawat penyelamatan perdana menteri dari aksi demonstrasi.
Sepatu buatan dalam negeri, berwarna biru tua, dan terbuat dari kulit suede (kulit bagian dalam binatang, halus) itu setelah ditemukan oleh demonstran, kemudian dilelang, dengan harga kira-kira Rp19 juta, di sebuah rumah lelang. Tak ada yang membeli sampai lelang ditutup karena penjual sepatu tak mampu memperlihatkan izin penjualan sepatu dari pemiliknya (http://notifikasiku.blogspot.com/2012/01).
Mengapa lepas sepatu saja bisa menjadi berita? Bukankah, banyak musibah yang jauh lebih dahsyat dari sekadar lepas sepatu, tetapi tak jadi berita apa pun? Ini memperkokoh “dalil” wartawan yang selama ini dianut : name makes news. Nama punya nilai berita. Perdana menteri itu tokoh.
Ada news value (nilai berita) dalam peristiwa itu. Dia perdana menteri, bukan warga negara biasa yang terbiasa dengan keadaan biasa-biasa saja. Sepatu itu, kabarnya kemudian dikembalikan oleh para aktivis yang menemukannya.
Sepatu ini dikabarkan murah. Gillard memakainya, dan menyukai produk dalam negeri. Padahal, Gillie, demikian namanya yang lebih dikenal, masih mungkin membeli sepatu mahal. Gille pensiun permanen dari kegiatan politik pada tahun 2013
Lady Diana Francis Spencer Putri Cinderella abad XX itu akhirnya meninggal dunia menyusul kecelakaan kendaraan yang ditumpanginya. Wartawan foto, yang oleh karena berada di lokasi kecelakaan, berhasil mengabadikan mantan istri Pangeran Charles itu, bahkan sampai detik-detik menjelang kematiannya.
Tak ayal lagi, kematian Lady Diana Francis Spencer tahun 1997 itu jadi berita dunia, dan dunia memberitakannya. Pemujanya meratap. Pada sebuah karangan bunga, tertulis, “Lady Di yang mulia! Kami kehilangan sesosok putri, tetapi, di surga bertambah seorang bidadari”.
Makam suaminya (kekasihnya), Dody El-Fayd, seorang kaya raya dari Mesir, banyak dikunjungi pemuja Lady Di, karena dianggap sudah memberikan kebahagian pada akhir hayat Princess of Wales itu.
Wartawan foto, boleh jadi, galau : memotret atau menolong, saat Lady Di mengalami musibah. Mereka diam, dan mendahulukan profesinya, memotret, meski musibah dekat dengan lensa kameranya, di depan matanya. Mereka sah memotret, apalagi karena memang wartawan foto. Sekali lagi, ini name makes news. Kecelakaan lalu lintas Lady Di ini jadi berita dunia, dan dunia memberitakannya.
Mengapa mereka tak mendahulukan pertolongan? Apakah mereka tak tahu bahwa nyawa dan keselamatan di atas segala-galanya? Atau, karena mereka “terpana” dengan peristiwa besar yang tak pernah terlintas sedikit pun sebelumnya?
Siapa pun tentu tak menyangka sebelumnya, pemilik mata indah dan rambutnya yang jadi model sedunia itu akan bernasib begitu. Magnet Lady terlalu besar. Perempuan cerewet sekali pun kemudian akan jadi santun, lembut, dengan hanya melirik dan senyum, karena tersihir kebiasaan Lady Di. Gaya hidupnya menyihir perempuan dunia, dari kota sampai ke kampung-kampung.
Dalam musibah ini, memang wartawan bukan polisi, bukan pula petugas kesehatan, sehingga mereka tak mungkin melakukan pertolongan? Ya, seharusnya mereka segera menghubungi polisi, atau menghubungi rumah sakit, atau menolong sebisa-bisanya. Sedikitnya, wartawan sudah berbuat sesuatu, yang bisa melepaskan diri dari tuntutan hukum yang berlaku di daerah setempat.
Di balik sukses pengabadian peristiwa itu, justru kemudian wartawan pemotret kecelakaan lalu lintas itu ikut didakwa, bersumber pada jurespundensi hukum Prancis. Mereka dipersalahkan karena tak melakukan pertolongan apa pun, padahal jelas-jelas ada di lokasi, padahal kecelakaan jelas-jelas mereka saksikan sendiri.
Dakwaan terhadap wartawan foto itu bersumber pada jurespundensi Prancis yang sebelumnya ditulis Kaisar Napoleon Bonaparte. Prinsip hukum ini, konon berasal dari Islam, hasil ijtihad Imam Malik. Prinsip hukum Islam sempat dimasukkan dalam code Napoleon, hukum yang ditulis Napoleon.
Kaisar Prancis ini disebut-sebut mengakui superioritas hukum Islam, dan oleh karena itu berniat menerapkannya di wilayah kekaisarannya. Ada yang menyebut, Napoleon masuk Islam pada tahun 1789. Adakah yang sudah melakukan penelitian tentang Napoleon jadi muslim? Jenderal kepercayaannya, Jacques Menou yang lebih dulu masuk Islam, lalu namanya ditambah, jadi Abdullah-Jacques Menou. Nama Napoleon pun, konon ditambah, jadi Ali Napoleon. Wallaahu ‘alam!.
Nyawa Lebih Berharga
Ketika terjadi letusan Gunung Merapi (September – Oktober 2010) wartawan televisi khususnya berlomba-lomba mengambil gambar yang eksklusif, meski harus menghadapi bahaya.
Pernah, saat siaran langsung, dan letusan gunung sedang bertubi-tubi, wartawan sebuah televisi semakin mendekat ke gunung, semakin ingin memeroleh gambar yang eksklusif.
Namun, tiba-tiba, redaktur di kantor pusat terdengar meminta agar wartawan yang meliput langsung itu menjauh dari gunung, sebab teramat berbahaya untuk keselamatan dirinya. Ya, nyawa lebih berharga, keselamatan perlu dijaga, sehingga gambar eksklusif sekalipun jadi “tak berharga” dibandingkan dengan nyawa. Wartawan pun harus menolong dirinya sendiri.(Dean Al-Gamereau)