Korantangerang.com – Dalam sebuah perjalanan laut, di kapal yang membelah.Marmara, laut yang selalu biru yang memisahkan Turki Asia dan Turki Eropa, Sultan Sulaiman yang Agung duduk berdampingan dengan seorang sufi.
Diam-diam, Sultan yang sezaman dengan Raja Henry VII dari Inggris itu (naik tahta tahun 24 Juni 1509), menyaksikan betapa Sufi itu tampak tenang dan teduh. Air mukanya seperti sebening kristal, sebagai pancaran hati yang ikhlas dan bersih.
“Aku merindukan hati yang tenang sepertimu. Aku selalu gelisah. Kerajaanku ternyata hanya menyusahkan saja,” kata Sultan kepada Sufi, membuka pembicaraan dalam perjalanan yang mengasyikkan itu.
“Seriuskah, Anda merindukan ketengan hati itu? tanya Sufi. “Tentu!” jawab Sultan.
“Kalau begitu, serahkan cincin berlian di jari manismu itu kepadaku!” pinta Sufi.
Tentu saja, Sultan heran, karena bukannya nasihat yang diperoleh, melainkan meminta barang berharga yang melingkar di jari manisnya itu.
Sultan sangat bingung, karena merasa tak ada hubungannya obat hati yang gelisah dengan cincin berlian yang sangat mahal itu.
Meski dengan berat hati, Sultan melepaskan cincin berlian dari jari manisnya,lalu menyerahkannya kepada sufi, sambil berharap betul akan mendapat ketenangan hati.
Berdoakah Sufi, dan mulutnya komat-kamit? Tidak! Justru, Sufi melihat ke bawah, dan tanpa basa basi dilemparkannya cincin berlian itu ke dasar laut. Ya, Sufi membuangnya ke dasar laut.
Sultan sangat marah. Mukanya merah padam. “Beraninya kau membuang cincin berlianku ke laut?” bentak Sultan kepada Sufi. Tetapi amarah Sultan dihadapinya dengan senyuman. Tak ada reaksi apa pun, kecuali tetap ramah dengan mukanya yang tenang dan teduh. Air muka Sufi tetap bersih, tak terganggu amarah.
Sultan secepatnya memanggil para pengawalnya agar menyelam ke laut untuk mengambil cincin berliannya itu. Tetapi, Sufi segera memberi isyarat agar para pengawalnya tak usah menyelam. Sufi kemudian memasukkan tanganya ke laut. Cincin berlian kebanggaan Sultan itu sudah ada di tangan Sufi.
Aneh sekali. Sultan diam. Terkesima. Lalu, Sufi memecah sunyi. “Selama cincin berlian ini sangat berharga bagimu, maka kau, Sulaiman, tak akan pernah menemukan ketenangan hati. Ingat, ketenangan hati datang dari keikhlasan!” kata Sufi.
Sultan masih diam dan merenung. Sufi pun meneruskan nasihatnya, “Keikhlasan melepaskan kesenangan duniawi adalah kunci utama ajaran sufi. Menempuh jalan sufi, saya sendiri sadar, tak akan pernah mudah,” nasihat Sufi berikutnya.
Sultan terhenyak, dan sadar, hati yang gelisah tak akan pernah berakhir selama hidup ini berpagar kesenangan dunawi, selama dilingkari cincin duniawi. Sultan merasa kerajaannya ternyata jadi sumber keresahan hati ditengah-tengah keagungannya. Anehnya kita justru sering sekali memimpikan sumber kegelisahan itu (C.R. Nurdin).