Tiga Teori Sosial
Apa yang dilihat dan didengar manusia mengendap dalam pikirannya. Informasi yang diterima pun tersimpan dalam memori. Pengalaman yang dilihat atau didengar pun sama tersimpan dalam memorinya. Manusia mengungkapkan lagi apa yang pernah dilihat atau didengarnya itu, baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
Pada saat mengungkapkan kembali pengalamannya itu, manusia hakikatnya menciptakan realitas baru, berdasarkan realitas pertama yang dialami manusia itu, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor eksternal. Menurut Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann, manusia menciptakan realitas sosial dari berbagai informasi yang didapat terus-menerus kemudian diproses berdasarkan faktor-faktor internal (subjektif) dan faktor-faktor eksternal (objektif).
Ada tiga teori yang berhubungan dengan konstruksi realitas, yakni teori Fakta Sosial, teori Definisi Sosial, dan teori Konstruksi Sosial. Teori fakta sosial menyebutkan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh lingkungannya. Dalam teori ini, manusia pasif, dan lingkungannyalah yang aktif sehingga mampu memengaruhi manusia itu sendiri.
Teori fakta sosial menafikan individu.
Teori Definisi Sosial malah sebaliknya dari teori fakta sosial. Menurut teori ini, justru manusialah yang menciptakan atau membentuk prilaku sosialnya. Teori definisi sosial justru menonjolkan indvidu. Teori ketiga adalah teori konstruksi sosial. Teori ini merupakan gabungan teori fakta sosial dan teori defenisi sosial, dengan tokohnya Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann.
Teori yang diciptakan dan dikembangkan oleh kedua tokoh diatas menyebutkan bahwa realitas mempunyai dimensi subjektif dan dimensi objektif. Dalam dimensi subjektif, manusia menciptakan realitas yang objektif, tetapi penciptaannya tidak lepas pula dari proses eksternalisasi.
Maka, dalam hal ini, akhirnya manusia adalah produk masyarakat, dan lingkungan (masyarakat) adalah produk manusia. Keduanya berproses secara dialektis, tesis, antitesis, dan sintesis. Begitu, kata para ahli. Dan, kita rasakan itukah?
Kalau semua itu dikaitkan dengan media massa, apakah karya jurnalistik itu fakta pertama atau konstruksi realitas wartawan atau media tempat wartawan itu bekerja? Inilah yang menjadi bahan diskusi kita : apakah berita yang dimuat di media massa itu, fakta pertama atau fakta kedua, sebagai hasil konstruksi realitas wartawan atau medianya?
Untuk pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2024, misalnya, bukankah kita bisa dengan mudah membaca arah dukungan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu oleh televisi tertentu? Peristiwa yang ditulis wartawan, dan sekaligus dibidik gambarnya, adalah fakta pertama dari lapangan. Lalu, ketika kita saksikan di televisi, ada fokus atau sentuhan yang berbeda.
Mengapa? Ada faktor internalisasi berupa “gatekeeping” di wilayah redaksi, yang mau tak mau harus menyesuakan diri dengan “khittah” media massa tel;evisi itu. Dengan demikian, berita yang disajikannya adalah fakta kedua. Maka, di sini, benarlah teori Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann tentang konstruksi realitas.
Positivisme dan Teori Kritis
Berita yang disajikan media massa, apakah fakta pertama, atau fakta kedua hasil rekonstruksi wartawan atau jajaran redaksi? Para ahli berdebat panjang tentang berita itu, dan sangat tergantung pada cara pandang dan ciri pandang masing-masing.
Para penganut Perspektif Positivisme memandang, berita yang tercetak dalam media massa harus identik dengan fakta yang terjadi di lapangan. Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Sebaliknya, para penganut Perspektif Teori Kritis justru memandang berita itu tak identik dengan fakta yang terjadi di lapangan. Berita bukan cermin dan refleksi dari kenyataan, melainkan hasil konstruksi dari realitas (fakta) di lapangan.
Bahkan, perspektif Teori Kritis memandang, berita itu cerminan dari kepentingan kekuatan dominan. (Eriyanto, 2001 : 32).
Kehadiran media massa di suatu negara tak lepas dari ideologi atau teori pers yang dianut negara yang bersangkutan. Teori Pers Soviet Komunis, misalnya, tak mungkin diterapkan di Indonesia.
Pada zaman Orde Baru, Indonesia menganut Teori Pers Pancasila : bebas dan bertanggung jawab, tetapi juga pers bisa disensor atau malah dibreidel. Seorang pemikir pers, Anwar Arifin, memasukkan pers Pancasila jadi teori pers ketujuh, setelah enam teori pers sebelumnya : Otoriter (Fred S. Siebert), Libertarian (Fred S. Siebert),Tanggung Jawab Sosial (Theodore Peterson), Komunis Soviet (Wilbur Schramm), Pembangunan (Denis McQuail), dan Demokratik Partisipan (Denis McQuail).
Media massa bisa menjadi agen politik, punya agenda politik, dan punya kepentingan politik pada saat pemilu (DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota) dan pemilihan (gubernur dan wakil gubernur, wali kota dan wakil wali kota, serta bupati dan wakil bupati).
Sebagai agen politik, Suwardi menyebutkan (Hamad : 2004 : xvi — viii), media massa melakukan proses pengemasan pesan (framing of political message) dan proses inilah sesungguhnya menyebabkan sebuah peristiwa atau aktor politik memiliki citra tertentu. Pengemasan pesan terkoneksi dengan pencitraan.
Dalam proses pengemasan pesan ini, media massa dapat memilih fakta yang akan dan yang tak akan dimasukkan ke dalam tubuh berita politik. Ada selera dan kepentingan di balik berita itu. Ada yang tersembunyi di balik berita. Komunikasi politik pada suatu pemilu atau pemilihan, tentu berkaitan dengan pembentukan opini publik, yang akhirnya kepentingan dan keterpilihan aktor politik.
Pengemasan Pesan Politik
Dalam pembentukan opini publik, menurut Hamad (2004 : 2 — 3), media massa umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus. Pertama, menggunakan simbol politik (language politic). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies). Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting function).
Dalam proses pengemasan pesan, media dapat menyeleksi fakta. Berita yang berasal dari wartawan di lapangan bisa berbeda dengan berita yang tersaji untuk khalayak pembaca. Ada konstruksi realitas oleh jajaran redaksi. Wartawan tak bisa protes, karena memang kewenangan pemuatan, atau bahkan tak dimuat sama sekali, ada pada kebijakan mereka di jajaran redaksi.
Sejak di lapangan pula sebetulnya, wartawan memilih fakta yang harus lebih ditonjolkan. Ada seleksi pertama di lapangan. Ketika menulis lead (pokok) berita pun, disadari atau tak disadari, wartawan memilih atau menonjolkan fakta tertentu, semisal mendahulukan unsur who (siapa) daripada unsut what (apa), karena memang untuk kepentingan dan pencitraan calon tertentu.
Pembentukan Persepsi
Menurut Sujiman (Badara, 2014 : 10), ada tiga hal yang dilakukan pekerja media tatkala melakukan konstruksi realitas, yakni pemilihan simbol (fungsi bahasa), pemilihan fakta yang akan disajikan (strategi framing), dan kesediaan memberi tempat (agenda setting). Penempatan berita, di halaman muka atau di halaman dalam, ditentukan pula oleh kebijakan redaksiobal media massa yang bersangkutan.
Dengan ketiga hal tersebut di atas, media massa bisa mengubah persepsi, atau jadi pembentuk makna untuk sesuatu realitas atau tindakan tertentu di lapangan. Media massa jadi alat perubahan.
Motif pembentukan makna itu bisa karena ideologis, politis, dan bisnis, atau malah mungkin karena ketiga-tiganya. Media massa akhirnya jadi alat kepentingan, termasuk kepentingan bisnis dan politik. Media massa jadi lebih penting pada pemilu atau pemilihan seperti pada tahun 2024 ini.
Media Massa : Jujur dan Adil.
Media massa sekarang ini sedang menikmati puncak kemerdekaan, karena tidak ada lagi penyensoran, pembreidelan, atau pelarangan penyiaran, sebagaimana bunyi Ayat (2), Pasal 5, Bab II, Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Media massa pula mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, sebagaimana bunyi Ayat (1), Pasal 3, Bab II, Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Untuk pemberitaan seluruh tahapan, program, dan jadwal pemilu atau pemilihan, terutama kampanye, Pers tak punya kekhawatiran di-breidel atau disensor.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya minta media massa adil dan netral dalam pemberitaan. KPU, Bawaslu, dan Dewan Pers selalu bergerak mengawal pemberitaan. Media massa ada di wilayah penyelenggara pemilihan : jujur dan adil, dengan fungsi kontrol sosialnya yang tak boleh dilupakan.
Oleh : Dean Al-Gamereau
(Penulis, Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak 2022 – 2027)