Korantangerang.com – Yang ditunggu-tunggu banyak pihak mengenai Habib Rizieq Shihab terkait kasus tes swab di Rumah Sakit UMMI Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu akhirnya terjawab. Pada Kamis (24/6) lalu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun kepada Habib Rizieq Shihab (HRS).
Ia dianggap terbukti bersalah terkait berita bohong yang menyebabkan keonaran.
Sidang putusan pengadilan kali ini menarik perhatian banyak pihak, karena sebelumnya Riezieq Shihab juga telah terjerat dua kasus yang sama. Kali ini, Habib Rizieq dianggap bersalah melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit menular.
Menariknya, pelanggaran yang dikenakan terhadap Rizieq Shihab, sama dengan pasal yang menjerat Ratna Sarumpaet beberapa tahun yang lalu. Hingga saat ini, pasal ini masih mengundang perdebatan di kalangan ahli hukum. Karena Pemerintah melalui Undang-Undang No 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan UU 1 tahun 1946 di seluruh wilayah Republik Indonesia dan Perubahan KUHP (UU 73/58) tidak mengintegrasikan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46 ke dalam KUHP.
Artinya, belakunya tindak pidana dalam pasal-pasal 14 dan 15 UU 1/46 ini, seharusnya disebutkan secara tegas bahwa pasal tersebut masih berlaku melalui UU 73/58, atau dimasukkan ke dalam UU 73/58 dalam pasal yang baru dengan redaksi yang sama.
Pasal ini merupakan salah satu pasal yang pada zaman kolonial belanda digunakan untuk melakukan kriminalisasi dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan. Yang kemudian, karena pertimbangan bahwa saat itu negara belum dapat membentuk sebuah Undang-Undang Pidana yang baru sehingga menggunakan hukum pidana yang sudah ada sejak zaman penjajahan yang disesuaikan dengan keadaan.
Tindak pidana yang didakwa pasal ini merupakan “pidana biasa” bukan “pidana khusus” serta merupakan “delik biasa” bukan “delik aduan”. Artinya, Polri dapat langung melakukan penyelidikan, penyidikan dan penindakan, tanpa memerlukan pengaduan dari pihak yang berkepentingan.
Sebab itulah, pada era sebelum sebelum kemerdekaan, pasal ini disebut juga “Pasal Karet”. Maknanya, penggunaan pasal ini tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Jadi, penggunaannya sangat mungkin dipengaruhi faktor-faktor subyektif, misalnya karena adanya faktor kepentingan politik.
Pengenaan pasal-pasal ini, dalam proses penyidikan dan penuntutan seringkali tidak didasarkan pada pasal tunggal saja yang dikenal sebagai dakwaan tunggal dimana didakwakan hanya 1 (satu) pasal tindak pidana saja. Artinya dakwaan pasal ini harus selalu diikuti dengan dakwaan (pasal) tambahan, untuk memperjelas dakwaan. Sehingga untuk Habib Rizieq, dikenakan juga dakwaan kedua, yaitu Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit menular.
Akan tetapi, Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit menular, menyebutkan ancaman yang lebih kecil (Penjara 1 Tahun/denda 1 juta) dibanding pasal 14 dan 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 (masing-masing ancaman 10 dan 2 tahun penjara). Nampaknya pembuat dakwaan bermaksud agar hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan primair dan jika ini tidak terbukti, barulah diperiksa dakwaan subsidair.
Dalam putusannya, Majelis Hakim juga menyatakan bahwa terdakwa (HRS), ”terbukti bersalah terkait dengan berita bohong yang menyebabkan keonaran….” terkait kasus tes usap di Rumah Sakit UMMI Bogor, Jawa Barat. Hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum yang menjadikan pasal 14 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 sebagai dakwaan primer.
Masalahnya, selama persidangan terungkap, bahwa hasil forensik seperti yang dinyatakan majelis hakim, kenyataannya tidak pernah dihadirkan Tim Forensik selama persidangan berlangsung. Kemudian sesuai pemenuhan unsur-unsur pidana dalam pasal 14-15 UU No.1/1946, tidak juga terbukti adanya keonaran yang secara fisik memang benar terjadi yang diakibatkan oleh perbuatan bohong seperti yang di tuduhkan kepada terdakwa.
Harus diingat, bahwa pasal 14-15 UU No.1/1946 sifatnya merupakan “delik material”. Artinya delik yang titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi/atau tidak terjadi. Maka kalau tidak terjadi “keonaran” sebagai akibat langsung dari sesuatu kebohongan yang didakwakan, maka seharusnya tidak ada tindak pidana sesuai yang didakwakan. Sebab unsur dakwaan belum terpenuhi.
Menyimak kronologi kasus swab Rumah Sakit UMMI Bogor yang menjerat HRS pun terdapat kejanggalan. Pada 25 November, Rizieq Shihab pertama kali dikabarkan dirawat di RS UMMI Bogor. Ia menjalani perawatan di sana karena diduga terpapar virus Corona. Direktur Utama Rumah Sakit UMMI Bogor Andi Tata mengungkapkan hasil pemeriksaan tim dokter. Ia menyatakan Rizieq disebut hanya kelelahan karena aktivitasnya setelah pulang dari Arab Saudi pada 10 November 2020 padat.
Kemudian pada 28 November, Pihak Rizieq mengirim surat keberatan atas permintaan publikasi terhadap hasil tes swab. Rizieq keberatan jika hasil tes Covid-19 disebar-luaskan ke masyarakat. Sementara itu, Pemerintah Kota Bogor malah melaporkan Direktur Utama dan manajemen Rumah Sakit Ummi ke Polresta Kota Bogor karena diduga menangani Rizieq Shihab tidak sesuai dengan prosedur rumah sakit rujukan Covid-19.
Dari selintas kronologi itu, fakta hukumnya menunjukan upaya pihak HRS untuk berusaha meredam informasi supaya tidak terbuka ke publik untuk mencegah adanya keriuhan. Akan tetapi malah “dipaksa” untuk di buka ke publik, yang memungkinkan HRS dianggap menyampaikan berita bohong ke publik, dan membuatnya tak bisa menghindar dari jerat pasal 14-15 UU No.1/1946.
Kronologi itu, sejatinya membuat dakwaan menjadi lemah. Sebab, sebuah proses hukum seharusnya lebih menyajikan fakta-fakta hukum apa adanya. Tidak menampilkan wajah kekuasaan kelompok yang melampaui kekuasaan kewenangan hukum. Sebuah perbuatan yang diduga tindak pidana, harus memenuhi unsur-unsur dakwaan.
Menurut Pasal 1 angka (7) KUHAP, “tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.” Jadi, Tahap penuntutan merupakan hal penting karena di dalam tahap ini ditetapkan oleh Jaksa Penuntut Umum apakah suatu kasus akan terus dilanjutkan ke pengadilan atau tidak.
Jika, Penuntut Umum tidak obyektif atau terpengaruh faktor-faktor lain diluar ketentuan hukum. Apalagi menyangkut dakwaan yang berupa delik biasa. Yang artinya, disitu terdapat potensi bagi aparat (polisi, jaksa) memiliki surplus kekuasaan.
Dalam kaitan kasus swab di R.S UMMI ini, menjadi tidak penting siapa yang menjadi terdakwa. Situasi ini bisa dialami siapa saja, tokoh gerakan, tokoh politik, atau bahkan orang biasa. Yang terpenting adalah unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan terpenuhi atau tidaknya, serta bagaimana proses hukum dijalankan secara benar.
Sebab bila hukum telah ditundukkan di bawah kekuasan politik, ekonomi, atau wewenang karena jabatan tertentu, maka disana tidak akan terdapat keteraturan. Dan bila kemudian keteraturan hukum sudah tidak ada lagi, maka yang tersisa tinggal kesewenang-wenangan.
Jangan sampai terkonfirmasi, bahwa keputusan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh konfigurasi politik.
Wallahu’alama
Allohu ya’khudzu biaidina ila maa fihi khoirun lil Isl ami wal Muslimin.
Oleh : Muhammad Yamin
(Direktur LBH PP PERSIS)