Logika Sesat Keberadaan BPIP, Alasan Kenapa Harus Dibubarkan


Logika Sesat Pembentukan BPIP

Korantamgerang.com -Lomba penulisan artikel yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sempat menjadi kontroversi dan mendapatkan persepsi minor dari masyarakat.

Tema yang diusung dalam lomba penulisan artikel tersebut yaitu, “Hormat Bendera Menurut Hukum Islam dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam”. Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Benny Susetyo berdalih, bahwa tema itu diambil untuk pemaknaan nilai-nilai keagamaan dalam memperkuat kebangsaan.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila kemudian secara resmi mengubah tema lomba, setelah sebelumnya mendapat kritik dari berbagai kalangan. Tema yang diusung terasa aneh, mengada-ada dan menyesatkan, karena dengan tema tersebut seolah hendak dinyatakan, bahwa selama ini persoalan menghormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan menjadi masalah di kalangan umat Islam Indonesia.

Pemerintah dalam hal ini BPIP, sama saja dengan mengusik ketenangan umat islam dan membuktikan ketidak percayaan BPIP kepada umat Islam Indonesia. Padahal selama ini tidak pernah ada persoalan menyangkut kedua hal itu (menghormati bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan), berjalan baik-baik saja, dilakukan dari waktu ke waktu oleh semua umat islam Indonesia, sehingga sebenarnya sudah clear, tak ada persoalan.

Kontroversi seputar BPIP sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak awal pembentukannya. BPIP dibentuk pada Juni 2018 sebagai upaya merevitalisasi badan atau unit yang telah dibentuk sebelumnya, yaitu Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).

UKP-PIP sendiri adalah Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila yang diumumkan Presiden pada 1 Juni 2017. UKP-PIP hanya berjalan efektif satu tahun, dan hampir tidak melakukan apapun dalam rangka pertumbuhan kemajuan bangsa, baik secara sosial-politik, maupun pengembangan ketata negara an.

UKP-PIP kemudian direvitalisasi menjadi BPIP, yang dilakukan karena pemerintah beranggapan peran, fungsi, dan kewenangan UKP-PIP yang masih sangat terbatas, cenderung menyulitkannya untuk bekerja dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya, termasuk lembaga setingkat kementerian.

Dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2018 disebutkan, “BPIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.

BPIP juga bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Apapun itu, UKP-PIP atau kemudian menjadi BPIP, mengingatkan kita pada BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di era Orde Baru. Dimana, lembaga itu juga bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, serta memiliki fungsi dan peran terhadap semua bentuk aktifitas dan program kenegaraan, dengan dalih atas nama pengendalian Ideologi Pancasila.

Lebih dari itu, berbeda dengan BP7, peran dan kewenangan BPIP akan lebih diperkuat penguasa dengan sedang terus diupayakannya pengesahan RUU HIP/BPIP. Dengan demikian, melampaui BP7 di era Orde baru, BPIP akan lebih memiliki legal standing yang kuat dengan menaikan status landasan yuridisnya melalui UU HIP/BPIP.

Dalam rancangan UU nya sendiri, BPIP diantaranya akan memiliki kewenangan: (1) mengevaluasi perwujudan dan penjabaran nilai-nilai Pancasila dan UU NRIT 1945 dalam undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, (2) mengajukan permohonan pengajuan undang-undang terhadap UUD kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan pengajuan peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Agung (MA).

Dengan begitu, BPIP akan menjadi lembaga super yang memiliki wewenang begitu besar dengan spektrum yang luas terhadap berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, dengan alasan untuk menjaga ideologi Pancasila.
Bila RUU HIP/BPIP berhasil di sahkan, maka BPIP akan mewujud sebagai satu lembaga super yang memiliki peran, fungsi, dan wewenang seperti Partai Komunis Tiongkok (PKT) dalam ketatanegaraan Republik Rakyat Tiongkok.

BPIP akan memiliki wewenang sebagai pengendali Ideologi Pancasila menurut tafsir dan interpretasi sepihak, serta berperan dalam setiap kebijakan dan program pembangunan dengan mengatasnamakan Pancasila. BPIP juga akan memiliki kemampuan untuk melakukan tekanan politik kepada ORMAS, OKP, bahkan Parpol, dengan mengatasnamakan penegakan ideologi.

Fungsi dan peran besar BPIP yang sesungguhnya adalah mentransmisikan Pancasila beserta nilai-nilai yang dikandungnya Ke dalam semua segi kehidupan sosial-kemasyarakatan dan ketatanegaraan Indonesia. Karena memang secara resmi dan terbuka, keberadaan BPIP ditujukan pemerintah Jokowi sebagai lembaga untuk melakukan fungsi dan peran itu.

Dalam konsep pemikiran ideologi Louis Althauser mengistilahkan dengan Ideological State aparatus, BPIP bisa disebut sebagai repressive state apparatus yang berfungsi sebagai lembaga resmi yang berhubungan dengan negara, seperti tentara, polisi, dan pengadilan, yang digunakan untuk menegakkan ideologi.

Di era Orde Baru, repressive state apparatus sering di lakukan Soeharto dengan menggunakan lembaga-lembaga mulai dari TNI, Pemda, hingga Litsus untuk mentransmisikan Pancasila secara langsung. Dalam konteks BPIP, hingga saat ini, BPIP baru mulai terlihat dengan fakta statement Kepala BPIP Yudian Wahyudi dan Lomba Penulisan Artikel ala BPIP.

Saat ini mungkin, BPIP belum memiliki “alat pemaksa” secara langsung, tapi memiliki kemampuan politik untuk memaksa alat kelengkapan negara lainnya dengan melakukan penetrasi langsung, mengingat Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP memiliki pengaruh politik kuat dalam kapasitas Ketua Umum PDIP yang menaungi Presiden Jokowi.

Padahal seharusnya, transmisi internalisasi ideologi berjalan secara alamiah, tanpa melalui proses pemaksaan oleh sebuah lembaga yang mendominasi mulai dari penafsiran, refleksi hingga penyebar luasan secara memaksa (terlepas apapun yang dijadikan alat pemaksa).

Apa yang sudah berjalan dengan menginternalisasi Pancasila sebagai ideologi melalui pendidikan karakter di sekolah-sekolah dalam mata pelajaran PPKN misalnya, apabila dimaksimalkan akan jauh lebih efektif, karena tidak terkesan memaksa dan berjalan secara alamiah dalam bentuk pendidikan karakter.

Strategi menjadikan BPIP sebagai pusat transmisi internalisasi ideologi Pancasila adalah kesesatan logika berpikir, dan berpotensi menjadi alat kekuasaan dan politik seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru. Sebab, dengan strategi ini secara resmi dan terbuka, akan membuat siapapun pengendali BPIP menyalah gunakan wewenang dan menstigma suatu kelompok sebagai tidak pancasilais.

Dengan lembaga resmi seperti BPIP, apa yang dilakukan akan seperti sebuah pemaksaan, doktrinasi, yang sebenarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri. Sebagai sebuah ide dasar, Pancasila seharusnya ditransmisikan melalui cara-cara dialektis dengan penuh kesadaran dan Alamiah, tanpa pemaksaan.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan, bahwa dengan keberagaman yang ada di Indonesia, baik dari segi kultur, sosial, norma maupun cara pandang, keberadaan Pancasila memang penting.

Pancasila bisa dijadikan sebagai pemersatu bangsa di tengah keberagaman itu. Mengingat keberagaman itu juga, tidak salah juga bila Pancasila dijadikan satu-satu nya sumber hukum dalam praktek ke tata negara an serta kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun mengupayakan internalisasi transmisi Pancasila melalui suatu lembaga khusus, atau bahkan unit kerja khusus, seperti BPIP misalnya, adalah logika pemikiran yang menyesatkan. Sebab akan berarti menciptakan lembaga yang surplus power, karena segala tindakan nya akan mengatasnamakan ideologi (pancasila).

Dan lebih jauh, berpotensi terjadinya penyalahgunaan ideologi (pancasila) demi keuntungan kelompok, atau bahkan alat politik untuk menyingkirkan kelompok lain.

Oleh: Muhammad Yamin
(Direktur LBH PP PERSIS)


Next Post

Koramil 01/Tln Ops Yustisi PPKM Level IV, Tekankan Prokes

Jum Agu 20 , 2021
Tangerang – Gencarkan kegiatan Ops Yustisi masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level IV di wilayah Koramil 01/Teluknaga, Kodim 0510/Trs […]