Korantangerang.com – Istilah Islam Nusantara beberapa tahun terakhir menjadi salah satu issue paling hangat, sekaligus kontrovesial. Tulisan singkat ini tidak bermaksud mempertajam silang sengketa atau kontroversi seputar istilah Islam Nusantara. Tapi lebih dari suatu upaya seorang muslim awam untuk memberi kontribusi pada ukhuwah Islamiah di Indonesia.
Istilah “Islam Nusantara” mulai populer dimulai sejak peralihan dari abad ke-20 ke abad ke-21, lebih mengemuka ketika dijadikan tema dalam muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 1-5 Agustus 2015 lalu.
Secara historis, argumentasi yang di kedepankan adalah dengan mengacu pada metode da’wah wali songo, yang memang menjadi perintis penyebaran dan da’wah islam di Indonesia. Catatan-catatan dan bukti historis memang membuktikan, para wali, terutama Sunan Kalijaga banyak menggunakan metode-metode tertentu untuk memudahkan penerimaan da’wah di Indonesia.
Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah serta banyak memasukan nilai-nilai Islam dalam kesenian masyarakat Jawa waktu itu. Masih banyak lagi metode-metode dakwah awal yang diterapkan untuk memudahkan penyebaran dan dakwah islam pada periode awal Islam di indonesia.
Secara konseptual, argumentasi nya didasarkan pada tiga makna “Islam Nusantara” sebagai sebuah istilah. Pertama, Islam Nusantara bermakna Islam yang dipahami dan dipraktekkan kemudian menginternalisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kedua, Islam Nusantara menunjuk pada konteks geografis, yaitu Islam yang berada di kawasan Nusantara. Ketiga, “Islam Nusantara” dengan pemaknaan “Islam” sebagai subyek, sementara “Nusantara” adalah obyek. Dengan demikian, menurut para pengusungnya, Islam Nusantara adalah pengejawantahan ajaran Islam kepada masyarakat Nusantara (Ahmad Sahal, “Prolog: Kenapa Islam Nusantara”, Bandung, Mizan, 2015).
Dalam perkembangannya, istilah Islam Nusantara menjadi bias karena dijadikan sebagai respon yang lebih terkesan emosional alih-alih konsep yang matang dan bisa dikaji baik secara ilmiah, historis, maupun konseptual. Islam Nusantara sering dijadikan lontaran atau jargon untuk merespon faham-faham yang dianggap transnasional, semisal HTI atau Gerakan Jama’ah Tablig.
Selanjutnya berkembang semakin tak menentu dengan menjadikan istilah “Islam Nusantara” ini sebagai alat dalam konteks dan konfigurasi politik. Ada beberapa pihak yang menjadikan Islam Nusantara sebagai alat untuk mendapat simpati dukungan politik, hingga alat untuk menyingkirkan kelompok warga masyarakat tertentu dari lingkaran politik nasional.
Bahaya terselubung Islam Nusantara
Sebagai sebuah kerangka konseptual, terdapat banyak hak yang bisa dipertanyakan menyangkut argumentasi konsepsional para pengusung Islam Nusantara. Akan tetapi, karena Islam Nusantara bukan atau belum menjadi sebuah konsep yang ajeg, baik secara ilmiah maupun sosio-cultural, ada baiknya kita hanya mencoba mengkaji tiga konsep pemaknaan awal saja. Hal ini untuk menghindari fokus penelaahan melebar ke hal-hal yang tidak penting, seperti kepentingan politik atau ego kelompok.
Dari pemaknaanya, terlihat adanya upaya memaknai Islam secara sosio-antropoligis, geografis dan interpretatif. Tentu saja, setiap upaya berijtihad sama sekali tidak ada salahnya. Akan tetapi, hal pertama yang harus dipahami, bahwa Islam adalah ajaran yang syamil mutakamil (sempurna dan menyeluruh). Yang dimaknai sebagai kesempurnaan Islam atau Syumuliyatul Islam.
Sempurna dan menyeluruh, artinya Islam adalah ajaran yang menyeluruh meliputi semua zaman, kehidupan dan eksistensi manusia. Islam mengatur semua urusan , mulai dari hubungan antara manusia dengan tuhannya (Allah S.W.T), hubungan antara manusia dengan manusia, hingga urusan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Rasulullah S.A.W bersabda, “Islam itu agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari pada Islam.” (HR. Baihaqi).
Lingkup Syumuliyatul Islam sendiri mencakup tiga hal, yaitu Syumuliyatul zaman (kesempurnaan waktu), syumuliyatul makan (kesempurnaan tempat/ruang), dan syumuliyatul minhaj (kesempurnaan pedoman hidup).
Pertama, syumuliyatul zaman, bermakna risalah Islam berlaku untuk semua zaman dan generasi, bukan risalah yang terbatas pada kurun waktu tertentu. Bila para nabi sebelum nabi Muhammad S.A.W diutus untuk periode tertentu dan waktu yang terbatas. Nabi Muhammad diutus untuk umat manusia hingga akhir zaman. Meski, para nabi tersebut pada hakikatnya memiliki kesatuan risalah (QS al-Anbiyaa ayat 25).
Kedua, syumuliyatul makan. Maksud dari konsep ini adalah Islam merupakan pedoman hidup yang tidak dibatasi oleh batas-batas geografis tertentu. Islam adalah adalah agama yang disyariatkan untuk seluruh umat manusia yang meliputi berbagai suku dan bangsa. Hal ini karena adanya wihdatul khaliq (kesatuan pencipta, yakni Allah SWT) dan wihdatul kauni (kesatuan alam semesta yang merupakan ciptaan-Nya).
Ketiga, syumuliyatul minhaj. Konsep ini meliputi al-asas, al-bina, danal-mu’ayyidat. Islam adalah risalah yang sempurna bagaikan sebuah bangunan yang kokoh. Al-asas (fondasinya) adalah al-aqidah (akidah). Islam menetapkan pedoman yang sempurna dalam hal akidah yang berbicara tentang ketuhanan, alam semesta, manusia, kenabian dan akhirat.
Pedoman semua hal itu terangkum dalam rukun iman. Dinding bangunan Islam (al-bina) adalah al-akhlaq (akhlak) dan al-‘ibadah (ibadah). Islam telah menggariskan pedoman akhlak yang sempurna.
Sebagaimana sabda Rasulullah S.A.W: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” (HR Ahmad).
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa secara konseptual, narasi-narasi Islam Nusantara sebenarnya tidak memiliki dalil dan dasar argumentasi yang kuat.
Kalaulah dikaitkan dengan fakta historis metode da’wah Walisongo, sebenarnya juga tidak relevan, karena saat itu memang jumlah muslim di Indonesia belum sebanyak saat ini, dengan pengaruh Hindu-Budha. Para wali juga memiliki metode yang tidak sama dalam berdakwah.
Tidak semua melakukan seperti yang dipraktekkan Sunan Kalijaga. Bahkan Sunan Kalijaga sendiri mengatakan, bila beliau melakukan metode seperti saat itu, hanya untuk lebih mudah di fahami oleh masyarakat waktu itu, dan meyakini suatu saat setelahnya akan di perbaiki dan disempurnakan oleh generasi Islam setelahnya.
Pemaknaan secara geografis juga tidak tepat. Sebab, kalau mengacu fakta sejarah, Nusantara itu bukan hanya wilayah yang menjadi Indonesia sekarang. Tetapi juga mencakup Semenanjung Melayu, Kalimatan bagian Utara, Mindanao, Thailand bagian selatan, hingga Formusa dan Madagaskar. Sehingga klaim Islam Nusantara hanya melingkupi wilayah Indonesia saat ini, berarti mengingkari fakta sejarah, dan menjadi “bias kognisi”.
Islam Nusantara sebagai interpretasi agar Islam lebih kontekstual pada nilai budaya lokal, dengan melalui pendekatan yang persuasif, menjadi tidak tepat bila ditempat pada konteks dan situasi yang salah.
Pendekatan Islam Kontekstual dalam memahami Islam memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi. Diantaranya, Pertama, menghindari dari pemahaman Islam yang sesat atau sekehendak orang yang memahaminya. Kedua, membawa orang untuk mengikuti kehendak agama, bukan sebaliknya. ketiga, memberikan respons yang tepat terhadap berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat, sesuai Al-Qur’an dan As-sunah. Keempat, mengikuti aturan yang benar, sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad, S.A.W.
Bila tidak, akan memicu polemik dan kontroversi, yang pada akhirnya memunculkan konflik diantara sesama umat islam Indonesia. Dan berakhir pada perpecahan yang tentu akan merugikan umat.
Lebih bahaya lagi, bila terus menerus di gaungkan tanpa kritik dan ada upaya meluruskan, semakin lama itu akan dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh masyarakat, dan dianggap sebagai Interpretasi final preaktek islam yang benar untuk Indonesia.
Seperti Presiden Jokowi pernah menyatakan, “Islam kita adalah Islam Nusantara.” Sebuah pernyataan yang berbahaya dan bisa memunculkan isme (ideologi) baru dalam islam.
Naudzubillah Himindzalik. Semoga kita semua senantiasa berada di jalan Allah dan Rasulnya. Dan semoga kesatuan umat selalu terjaga.
Wallahu’alam
Allohu ya’khudzu biaidina ila maa fihi khoirun lil Islami wal Muslimin.
Oleh : Muhammad Yamin
(Direktur LBH PP Persis)