JAMAAH DAN HIDUP BERJAMAAH


Korantangerang.com – Ada sholat berjamaah dan ada sholat munfarid. Sholat berjamaah adalah sholat lebih dari seorang secara bersama-sama. Sholat berdua, seorang jadi imam, dan seorang lain jadi makmum, sudah sah disebut sebagai sholat berjamaah. Ini dalam ilmu fikih.

Lain lagi kalau kita belajar bahasa Arab, dalam Nahwiyah (tata bahasa Arab), dua belum bisa disebut jamaah, baru disebut mutsanna. Lebih dari dua, barulah disebut jamak (banyak). Oleh karena itu, dalam nahwiyah, ada isim mufrad sebuah, seorang, dll.), isim mutsanna (dua buah, dua orang, dll.), dna isim jamak (lebih dari dua orang, dua buah, dll). Jadi, banyak dalam ilmu fikih tak sama dengan banyak dalam nahwiyah.

Sekedar tambahan, ketika kita belajar tashriif (sharaf), ada huwa (dia, laki-laki) ada hiya (dia, berempuan) ada anta (kau, laki-laki), dan ada anti (kau, perempuan). Ketika kita belajar tawhid, dan Allah S.W.T disebut huwa atau anta, tentu saja, tak ada kaitannya dengan jenis kelamin laki-laki. Allah S.W.T bukan huwa, bukan hiya, bukan pula anta atau anti seperti dalam pelajaran tashrif

Apakah jamaah itu? Menurut bahasa adalah “al-‘adadu ‘l-kastiiru mina ‘n-naasi” (jumlah yang banyak dari sekelompok manusia). Jama’ah secara bahasa disebut pula sebagai “ath-thaaifatu mina ‘n-naasi yajma’uhaa ghardun waahidun” (sekelompok manusia yang berkumpul dengan tujuan yang sama).

Ibnu Mas’ud berkatata,”man kaana ‘ala ‘l-haqqi fahuwa jamaa’tun wa in kaan waahidan” (Siapa saja yang berada bersama-sama hak, maka itu (hakikatnya) adalah berjamaah, meskipun dia seorang diri).

Kata Ali bin Abu Thalib, “al-jamaa’atu, walalahi, mujaama’atu ‘l-haqqi wa in qalluu wa ‘l-firqatu mujaama’atu ahli ‘l-baathili wa in katsuruu” (Jamaah itu, demi Allah, orang-orang yang berada bersama-sama hak, meski sedikit. Firqah adalah orang-orang yang berada bersama-sama batil, meski banyak). Dengan demikian, ciri jamaah adalah sekelompok orang, dengan tujuan yang sama, dan tetap bersama-sama dalam haq (kebenaran).

Seorang ayah merasa ajalnya akan segera tiba. Dia panggil anak-anaknya. Setiap anak disuruh membawa lidi. Mereka disuruh mematahkan lidi itu. Maka, dengan mudah, lidi bisa mereka patahkan. Berikutnya, dia minta anak-anaknya mengambil lidi lagi, lalu disatukan, dan anak-anaknya disuruh mematahkan ikatan lidi itu. Susah tak bisa dipatahkan.

Kata sang ayah, “aqwiyaa-u idzaa tahadtum, dlu’afaa-u idzaa tafarrqatum” (bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh).

Pelajaran untuk kita semua, kekuatan ada pada persatuan. Bukan hanya persatuan fisik sebetulnya melainkan juga pada persatauan atau bahkan peleburan nonfisik.

Latar belakang manusia berbeda-beda, meliputi pendidikan, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Perbedaan itu tak boleh dipertentangkan tetapi harus dijalinkan, disinergikan agar jadi kekuatan.

Perbedaan pendapat mesti terjadi, dan itu sehat. Semua bisa diselesaikan lewat musyawarah. Tak ada keputusan yang paling baik selain hasil musyawarah, yang para pesertanya ikhlas menerima hasil musyawarah itu.(Dean Al-Gamereau)


Next Post

Rumah Terbakar di Legok, Satu Keluarga Meninggal

Jum Okt 23 , 2020
Tangerang – Kebakaran hebat terjadi pada salah satu rumah di Kompleks Perumahan Bumi Permai Sentosa, Blok B RT 07/01, Kampung […]