Tangsel – Pemerintah Kota Tangerang Selatan ternyata selama ini abai lingkungan hidup. Hal ini mulai terkuak bermula dengan jebolnya turap TPA Cipeucang pada Jumat (22/05/2020). Emanuella Ridayati, anggota DPRD dari Fraksi PSI yang berada di Komisi III menyoroti Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan.
“Dalam kunjungan koordinasi dengan DLH Kota Tangerang, terungkap betapa tertinggalnya Tangsel ini,” ujar Rida.
Sebagai perbandingan, luas Kota Tangerang dan Tangerang Selatan tidak terpaut jauh, 153,9 km2 (Kota Tangerang) dan 147,3 km2 (Tangsel); penduduknya juga hampir sama 1.799.000 jiwa (Kota Tangerang) dan 1.747.906 jiwa. Sementara sampah yang dihasilkan sekitar 1.500 ton per hari di Tangerang dan hampir 1.000 ton per hari di Tangsel, ungkap Rida lebih jauh.
“Informasi yang saya dapat, TPA Cipeucang itu sejatinya adalah Tempat Pemrosesan Akhir tapi ternyata hanya jadi pembuangan akhir tanpa ada proses sama sekali, dan itupun kapasitas penanganannya hanya 380 ton per hari sementara sampah Tangsel 1.000 ton per hari, jadi ada backlog tiga kali lipat”, tambahnya lagi.
Teknologi yang dicanangkan awal mulanya adalah _sanitary landfill_ yang bila memang dilaksanakan dengan benar, tidak akan terjadi tragedi lingkungan hidup seperti hari ini. Sampah hanya dibuang dan ditumpuk begitu saja. Dalam peninjauan kemarin terkait adanya undangan media ke TPA Cipeucang, saya menyaksikan sendiri air lindi mengalir dan berleleran di mana-mana, udara dipenuhi bau busuk menyengat. Tidak bisa dibayangkan rusaknya lingkungan sekitar, air lindi meresap jauh ke dalam tanah, mencemari sumur warga, mencemari air tanah, mencemari Sungai Cisadane yang ironisnya justru jadi air baku PDAM Tangerang Selatan, paparnya panjang lebar.
Yang lebih mencengangkan lagi, Kota Tangerang berhasil membukukan retribusi sampah sebesar Rp. 15 miliar. Sangat miris dengan retribusi sampah Tangsel yang hanya sejumlah Rp. 3.25 miliar, sangat jauh sekali dengan Tangerang. Dari perbandingan luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah sampah dan penanganan sampah yang mirip, seharusnya potensi pendapatan daerah Tangsel bisa paling tidak mirip atau mendekati.
Sekarang kita lihat dengan anggaran DLH Tangsel sebesar Rp. 107 miliar, memiliki 40 unit armada sampah, dan 150 tenaga pesapon. Sementara Kota Tangerang dengan anggaran Rp. 172 miliar memiliki 460 armada sampah (Saber, Bison, Bentor, Dump Truck) dan 653 tenaga pesapon. Apakah sebanding dengan jumlah anggaran?
“Dan ada juga masterplan Tangerang untuk TPA yang bekerja sama dengan BPPT senilai Rp. 15.5 miliar, saya memang belum tahu apakah di Tangsel ada juga,”kata Rida.
Kita lihat saja negara-negara tetangga bagaimana mengelola sampah. Kita memang masih harus belajar banyak untuk pengelolaan sampah. Tidak harus lahan luas untuk TPA, selama itu pemrosesan – bukan pembuangan. Penggunaan teknologi, baik sanitary landfill, incinerator, ataupun mengajak masyarakat untuk mengolah sampah dari rumah, misalnya menampung minyak jelantah sehingga tidak langsung digelontor di bak cuci piring dan masuk ke saluran air perkotaan, memilah plastik dan masih banyak lagi.
“Yang diperlukan adalah political will, kemauan politis dan law enforcement penegakan hukum. Bisa dibilang Pemkot Tangerang Selatan abai terhadap lingkungan hidup dan harkat mendasar penduduk Kota Tangerang Selatan, yang konon bertajuk Cerdas, Modern dan Religius ini,”pungkasnya.