Menyambut Pemilihan Serentak Tahun 2024 (3)


RELASI PENGUASA, PENGUSAHA, DAN MEDIA MASSA

Korantangerang.com – Noam Chomsky dan Edward Herman dalam Wattimena (http://rumahfilsafat.com, unduh Senin, 19/10/19, 23.30 WIB) menyebutkan, sekarang ini kekuatan ekonomi politik menentukan isi media, baik cetak maupun elektronik. Kita bisa menyebutnya filter dalam menentukan isi media
Ide dasarnya adalah, masih kata Noam Chomsky dan Edward Herman, dalam Wattimena, bahwa ada kekuatan ekonomi politik yang dimiliki sekelompok orang dan perusahaan raksasa yang menentukan dan menyaring segala bentuk pemberitaan kepada masyarakat luas.

Iip Rifai dalam https://indonesiana.tempo.co (unduh Senin 25/02/19, 23.30 WIB), menulis, “Banyak pelajaran yang bisa diambil dari seorang tokoh besar dunia, yaitu Noam Chomsky, diantaranya: Pertama, bahwa dunia sekarang dikuasai oleh media massa dan ia berada di bawah kendali kepentingan dua kelompok besar, yaitu kepentingan kelompok pemerintah yang berkuasa dan kepentingan ekonomi para pemodal.

Kita kadang merasa kalah mengambil keputusan saat ini adalah keputusan pribadi padahal secara tidak sadar keputusan tersebut ditentukan oleh media massa yang dibaca. Kedua, kita harus bersikap kritis terhadap media massa, harus mau mencari sumber-sumber lain (second opinion), harus menggunakan akal sehat dalam menyimpulkan informasi atau berita yang didapat tinimbang mengikuti apa yang menjadi tren dalam media massa”

Penguasa dan Media Massa

Peran serta Penguasa terhadap media massa itu bisa dilihat pula sebagai hegemoni kuasa negara terhadap kuasa media. Salah satu ciri hegemoni adalah konsensus. Media massa tak merasa diintervesi, apalagi merasa dikuasai, karena memang ada konsensus sebelumnya.
Eufemisme bahasa dalam media massa itu salah satu ciri dari beberapa ciri hegemoni kuasa negara terhadap kuasa media.

Ciri hegemoni lainnya, Pemerintah, misalnya, memberi subsidi kertas untuk sejumlah media massa, kemudahan distribusi koran daerah terpencil, dan adanya program koran masuk desa.

Pemerintah, selain menempuh cara-cara yang halus untuk “menguasai” media massa, juga menempuh cara yang keras, seperti breidel yang dialami oleh beberapa koran. Melalui kekuasaan, Penguasa memang akhirnya bisa mem-breidel atau menghentikan pencetakan dan penyebaran media massa.

Tak ada protes atau aksi demonsrasi dari wartawan lain yang media massa-nya tak dibreidel. Para wartawan, ketika itu, diwajibkan masuk ke dalam satu-satunya organisasi wartawan yang sah, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pada saat sejumlah media massa dibreidel, ketika itu, PWI hanya bisa berkomentar, “Memahami tindakan Pemerintah”.

Pada zaman sekarang, media massa tak lagi dibantu oleh Pemerintah. Tak ada lagi subsidi kertas. Program koran masuk desa dihentikan. Eufimisme atau penghalusan bahasa lenyap. Media massa bisa bebas menggunakan bahasa seperti yang diinginkannya, asal tak melanggar kode etik jurnalistik.

Media massa cetak punya kesempatan yang luas untuk menulis berita, sesuai dengan kepoentingan masing-masing, meliputi ideologi, politik, atau bisnis. Adakah media massa berpihak kepada salah satu pasangan calon atau dalam posisi netral? Khalayak sudah pintar membacanya.

Netralitas Media Massa

Kehadiran media massa sangat penting untuk penggalangan dan pembentukan opini publik. Dalam pemilu atau pemilihan penggalangan dan pembentukan opini publik itu pasti bermuara pada elektabilitas atau keterpilihan calon yang bersangkutan.

Ke-tidak netral-an media massa dikhawatirkan pula peneliti dan pengamat komunikasi politik, Effendi Gazali. Dengan mengutip gurunya, Denis McQuail, dalam bukunya Media Performance, Effendi Gazali menyebutkan, “Lama-kelamaan, kita jadi ragu apakah ada terminologi media independen atau yang menyampaikan opini publik : mungkin lebih bagus kita mencari media mana yang lebih menyuarakan kepentingan publik ketimbang kepentingan pemilik modal atau aliansi politiknya (Gazali dalam Eriyanto, 2018 : x).

Tentang netralitas media massa, ketua Dewan Pers Josep Adi Prasetyo (kini, Mohammad Nuh, pernah jadi menteri pendidikan dan kebudayaan RI), sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara (23/10/2018), mengingatkan agar wartawan yang menjadi tim kampanye atau jadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD nonaktif, cuti sementara, atau mundur dari profesinya.

Hal itu untuk menjaga netralitas wartawan (media massa). Wartawan bekerja untuk kepentingan publik. Kalau bergabung dengan tim sukses atau tim kampanye, kata Adi Prasetyo, itu menyalahi prinsip netralitas. Diakui oleh Ady Prasetyo, beberapa wartawan telah mengundurkan diri dari profesinya ketika resmi termasuk dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPR, DPD, atau DPRD. Pengunduran diri itu sejalan dengan Surat Edaran Dewan Pers Nomor 02/SE-DP/II/2014 tentang Independensi Wartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa.

Alat Politik dan Saluran Politik

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tampaknya paling lama, belum disentuh untuk diubah atau disesuaikan. Undang-undang ini mungkin sangat cocok untuk zaman awal Pers Reformasi. Setelah terjadi revolusi komunikasi, dan kini sudah memasuki The Informartion Age, serta perkembangan sosial politik di negeri ini, maka undang-undang yang kini berusia hampir 20 tahun itu apakah perlu diubah?

Para wartawan peserta UKW ditanya tentang netralitas wartawan, tentang tekanan dari pihak luar, maka itulah yang hakikatnya kini terjadi. Sejumlah media massa seperti jadi agen politik dan saluran politik pihak atau parpol tertentu, seperti pada pemilu tahun 2019.

Pers yang status utamanya sebagai lembaga sosial, kemudian berubah drastis jadi lembaga ekonomi. Pers jadi industri informasi, dengan orientasi pada bisnis dan keuntungan materi. Juga keuntungan politik. Selama ini, memang, tak ada teguran atau larangan dari pihak yang berwenang?

Ada petinggi parpol yang sekaligus pemilik/pemimpin redaksi. Masalah ini setidak-tidaknya, apakah akan mengaburkan peran Pers untuk memenuhi hak masyarakat mengetahui secara utuh? (Huruf a, Pasal 6, Bab II, UU No. 40/1999).

Pers pun, ketika jadi alat politik dan saluran politik Pemerintah, maka sangat dikhawatirkan akan kehilangan daya kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (Huruf d, Pasal 6, Bab II, UU No.40/1999). Kepetingan umum, ke-ingin tahu-an masyarakat umum perlu dlilindungi, dan terjaga.
Oleh : Dean Al-Gamereau
(Penulis, ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Kabupaten Lebak 2022 – 2027)


Next Post

ISEI Fasilitasi Sosialisasi LPS - Industri Asuransi

Sen Jun 24 , 2024
JAKARTA, 23 JUNI 2024 – Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) memfasilitasi upaya sosialisasi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan […]