Peraturan Pers : dari Zaman Belanda Sampai Zaman Merdeka
Zaman Jepang
Seiring dengan tersingkirnya Belanda, Jepang datang, juga menjajah. Penerbitan Pers Belanda dilarang. Kantor Berita Belanda Aneta pun dikosongkan. Wartawan Belanda ditangkap dan dipenjarakan. Kantor Berita Antara dilebur dengan dengan Kantor Berita Jepang Domei. Pemerintah Jepang lalu menerbitkan, antara lain, Djawa Baroe, yang tentu saja berisi propaganda.
Pers yang diterbitkan Jepang adalah pers Pemerintah. Hadir untuk mendukung Pemerintah, dan hadir agar rakyat Indonesia bersimpati kepada Pemerintah Jepang. Oleh karena itu, ada sensor untuk berita-berita yang sekiranya akan merugikan Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang ini, terbit surat kabar Tjahaja, di Bandung, dengan pemimpin redaksi S. Btanata. Surat kbar ini, pada tanggal 18 Agustus 1945 menerbitkan Undang-Undang Dasar 1954 – yang sekaligus menunjukkan Tjahaja “baru” jadi republiken seratus persen (https://mpn.kominfo.go.id. Unduh : Kamis, 08 Februari 2024, pukul 11 : 09 WIB).
Pers Indonesia boleh terbit? Boleh, tetapi dengan syarat dan kontrol yang ketat. Pemerintah Jepang tampaknya yang mengawali adanya izin terbit secara resmi bagi penerbitan pers, lalu diteruskan pada zaman kemerdekaan Indonesia dengan keharusan adanya surat izin terbit (SIT), zaman Orde Lama, lalu surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), zaman Orde Baru. Akhirnya, sama sekali tanpa izin terbit pada zaman Reformasi.
Pada zaman penjajahan oleh Jepang ini, peraturan pers pun dibuat, dan secara tersirat, tampak penjajan Jepang ingin menghapuskan seluruh peraturan pers dan penerbitan pers zaman Hindia Belanda. Penguasa Jawa – Madura mengatur publikasi dan komunikasi dengan Undang-Undang Nomor 16. Isi undang-undang ini, antara lain, adanya peraturan izin terbit dan melarang penerbitan pers sebelumnya.
Salah satu bunyi undang-undang itu, bahwa semua barang cetakan harus mendapatakan izin cetak dari penjajah Balatentara Jepang. Ada kantor-kantor sensor pers, seperti di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, dengan kantor pusat di Jakarta. Semua barang cetak tidak boleh dikirim ke luar. Sebaliknya, pers cetak dari luar tidak boleh masuk ke daerah pendudukan Jepang. Tukar-menukar penerbitan pers antardaerah harus pula seizin Balatentara Jepang. Pihak pencetak dan penerbit pun wajib menantumkan identitasnya.
Untuk memperkuat dan memperketat sensor, Balatentara Jepang menempatkan seorang shidooin (penasihat) di setiap penerbitan pers. Para penasihat ini, selain mengontrol isi, juga sekaligus menulis artikel. Tetapi menggunakan nama anggota redaksi. Kehadiran shidooin ini adalah bentuk sensor nyata yang melekat. Shidooin adalah gatekeeper dalam jajaran redaksi. Dengan demikian,berita-berita yang merugikan Jepang tidak mungkin lolos karena terjaring dan tersaring gatekeeper itu.
Pers pada zaman Jepang lebih buruk dari zaman Belanda. Pengekangan, intimidasi terus berlanjut, sehingga menyulitkan wartawan jihad, wartawan pergerakan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Meski pers zaman Jepang lebih buruk, tetapi ada beberapa keuntungan yang diraih, antara lain, pengalaman karyawan pers bertambah dan penggunaan bahasa Indonesia semakin luas. Lebih dari itu, berita-berita yang disiarkan pers Jepang menyulut berpikit krisis di kalangan pembaca (www.merdeka.com. Unduh 09 Februari 20-24. Pukul 09.50 WIB). Untuk yang terakhir ini, boleh jadi, tidak terpikirkan Jepang sebelumnya.
(Dean Al-Gaereau, Sekretaris Dewan Penasihat PWI Provinsi Banten).