Media Darling dan Media Enemy


Ini pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2019. Calon presiden (ketika itu) Prabowo Subianto kurang ramah terhadap media, antara lain, karena sudah tahu jadi media enemy (musuh media), sedangkan calon presiden Joko Widodo jadi media darling (kesayangan media).

Sikap Prabowo yang memposisikan diri sebagai media enemy adalah bentuk strategi dalam pemilihan presiden, sebagaimana diungkapkan anggota Dewan Kehormatan PWI, Tri Agung Kristanto, dalam diskusi “Jaringan Nasional Jurnalis Anti Hoaks” di Kebayoran, Jakarta Selatan, Jumat (Kompas.com – 25/01/2019, 18:41 WIB).

Oleh karena dua posisi yang berlawanan itu, maka berita-berita tentang calon presiden nomor 1 (Joko Widodo) selalu lebih unggul dan lebih bagus sebagai calon presiden. “Memang Jokowi di-create tim medianya untuk jadi media darling dan dia bangun dirinya jadi objek pemberitaan,” kata Tri Agung.

“Kenapa Prabowo lebih terkesan melawan media massa, ya karena timnya sudah tahu Jokowi adalah media darling. Kalau sama-sama jadi media darling, ya dia adalah follower (pengikut),” kata Tri Agung Kristanto, dalam diskusi itu.

“Memang Jokowi di-create tim medianya untuk jadi media darling dan dia bangun dirinya jadi objek pemberitaan,” kata Tri Agung pula. Ada tenaga khusus yang bergerak d balik media darling Kedua calon presiden ingin memenangkan pertarungan di media, antara lain, karena berhubungan dengan pencitraan. Citra yang baik dan simpatik akan mendorong khalayak pemilih untuk memilih calon presiden yang memenangkan pertarungan kampanye.

Pertarungan, tidak saja di panggung kampanye, tetapi juga di media massa Prabowo Subianto merasa dirinya jadi media enemy, sehingga terkesan memusuhi pula terhadap media. Prabowo Subianto menuduh pula media berbohong dan mencuci otak masyarakat oleh berita-berita tertentu.

“Rakyat mau dicuci otaknya dengan pers yang terus terang saja banyak bohongnya daripada benarnya,” kata Ketua Umum Partai Gerindra ini.

Prabowo mengaku berlangganan lima sampai delapan koran. Maka, setiap pagi, Prabowo selalu mengatakan, “Kebohongan apa lagi yang mereka cetak”. (Kompas.com – 25/01/2019, 18:41 WIB).

Prabowo mencontohkan, reuni 212, di lapangan Monumen Nasional (Monas) Ahad (02/12/2018), dalam pemberitaan media dihadiri 15.000-an orang, padahal, menurut Prabowo, dihadiri oleh 11.000.000-an orang. Media darling dan media enemy ini berkaitan pula dengan opini publik, pencitraan, yang akhirnya keterpilihan dalam pemilihan.

Media, baik langsung maupun tidak langsung, sudah mengarahkan pilihan untuk calon presiden tertentu. Khalayak pemilih, tentu saja, akan memilih calon presiden yang dinilainya lebih baik. Media menyodorkan pilihan itu melalui pembentukan opini publik. Media dinilai punya kekuatan. Akhirnya, media bukan saja a message (pesan), melainkan juga a power (kekuatan)

Pesan media yang menjadi kekuatan atau pengaruh sudah banyak dibahas para ahli ilmu komunikasi. Adanya pengaruh media terhadap perilaku komunikan (khalayak) merupakan hasil penelitian yang kemudian melahirkan teori, seperti Teori Jarum Suntik. Pesan media langsung masuk ke benak khalayak, yang kemudian memengaruhi perilaku.

Dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, akhir dari kampanye adalah keterpilihan. Bentuk-bentuk kampanye hakikatnya mengarah pada satu tujuan, penggunaan hak pilih di tempat pemungutan suara (TPS) hanya kepada calon yang bersangkutan. Selalu tidak mudah meyakinkan pengguna hak pilih untuk menentukan pilihannya. Bahkan, kemudiah lahir istilah “serangan fajar” – untuk dan demi keterpilihan itu.

(Dean Al-Gamereau. Sekretaris Dewan Penasihat PWI Provinsi Banten masa jabatan 2019 – 2024)


Next Post

Plt Ketua PWI Kota Tangerang Ajak Anggota Membangun Organisasi Yang Solid

Jum Feb 16 , 2024
Tangerang – Pelaksana Tugas (Plt) Ketua PWI Kota Tangerang R. Herwanto mengajak seluruh anggota bersama-sama membangun organisasi PWI agar lebih […]