Korantangerang.com – Ada yang turun dari kursi, lalu sakit hati. Ada yang turun dari kursi, lalu punya kenangan tersendiri, kenangan indah di dalam hati. Ada yang turun dari kursi, lalu pasrah – dan tabah pada takdir Ilahy. Ada yang naik ke kursi, lalu percaya diri. Ada yang naik ke kursi, lalu menilainya ujian dari Ilahi Rabby. Ada yang naik ke kursi, lalu lupa diri. Ada pula hanya pindah kursi, lalu masih bisa mengucapkan alhamdulillah, padahal sebelumnya sudah “sport” jantung – takut kehilangan kursi.
Kursi dalam arti sebenarnya, yang ada di rumah kita, hanyalah benar-benar termpat duduk. Kta makan sambil duduk, maka ada kursi makan. Kita menerima tamu, dan ngobrol sambil duduk, maka ada kursi tamu. Kita duduk santai sambil beristirahat, sambil bermalas-malasan, maka ada kusi malas.
Di gedung parlemen, di lingkungan birokasi, juga banyak kursi. Di sini, ada kursi dalam arti sebenar-benarnya, ada pula kursi dalam arti tak sekadar tempat duduk, tapi kursi yang berarti kedudukan atau jabatan – yang melekat dengan gaji atau uang kehormatan – juga dengan mobil dinas yang mahal.
Ada dua pesan agama (Islam) yang sudah sangat dikenal, yakni hadis idzaa wussida ‘-amru ilaa ghayri ahlihi fantadziri ‘s-saa’ata, artinya, kalau perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu (kehancuran). Pesan yang lain, Rasulullah S.A.W. mengingatkan agar jangan menyerahkan jabatan kepada yang memintanya .
Kalau ada orang yang mau jadi presiden, jadi menteri, jadi gubernur, atau jadi bupati/wali kota, jadi wakil rakyat, semua itu manusiawy. Normal saja. Oleh karena itu, dalam setiap pemilihan pejabat publik itu, selalu saja ramai oleh para calon. Mereka orang-orang normal.
Untuk apa jadi pemimpin atau wakil rakyat? Tak ada orang yang tahu persis daya dorongnya, kecuali dirinya sendiri. Di sini, bisa berlaku lain di bibir lain pula di hati. Orang lain hanya mengira-ngira atau menduga-duga berdasarkan penglihatan dan gejala-gejalanya saja – dan kita ingin mengedepankan husnu –dz-dzan (baik sangka), tentu saja.
Khayru –naasi anfa’uhum li ‘n-naasi. Kata Nabi Muhammad SA.W. Artinya, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa memberi manfaat (paling bermanfaat) untuk manusia yang lainnya”. Dan jadi manusia seperti itu, jadi pemimpin atau wakil rakyat itu, memang bisa ditempuh lewat kedua jabatan ini.
Seorang sufi melewati kelompok penyanyi jalanan (KPJ). Kata sufi itu, “Musikmu, indah. Suaramu, merdu. Tapi, ada yang lebih merdu dari suaramu, Nak!,” kata sufi itu. “Apa suara yang lebih merdu itu,?” tanya KPJ. “Suara yang paling merdu adalah kokok ayam di pagi hari saat membangunkan manusia untuk salat subuh, suara yang membaca Alquran, dan suara orang yang merintih tengah malam saat meminta pengampunan kepada-Nya”. Jawaban sufi ini, sangat cocok jadi renungan kita, renungan para pemimpin atau wakil rakyat! (C.R. Nurdin)