HUKUM PERBEDAAN HARI RAYA DAN KEWENANGAN ULIL AMRI DALAM MENYATUKANNYA


Pendahuluan
Salah satu persoalan yang terasa mengganjal terus berlanjut di tengah umat Islam setiap kali menghadapi bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah adalah adanya perbedaan penentuan awal puasa dan hari lebaran. Persoalannya bukan hanya sekedar adanya perbedaan itu sendiri, sebab perbedaan masalah fikih merupakan hal yang biasa di tengah kaum muslimin.

Akan tetapi perbedaan dalam penentuan akhir Ramadhan dan awal Dzulhijah berimplikasi atas perbedaan dalam pelaksanaan hari raya yang seharusnya dilaksanakan secara serempak oleh seluruh kaum muslimin. Dari perbedaan pelaksanaan hari raya itupun kemudian berdampak kerancuan di tengah umat. Sebagian kaum muslimin masih berpuasa, sebagian lagi sudah berhari raya, sementara hadits Nabi menegaskan bahwa berpuasa di hari raya adalah haram.
Kalau hal itu terjadi pada negara atau wilayah yang berbeda, mungkin secara sosiologis dan psikologis perbedaan itu tidak terlalu terasa mengganggu.

Tetapi perbedaan itu justru terjadi pada satu negara, pada satu kampung yang sama, bahkan pada satu keluarga disebabkan perbedaan madzhab atau organisasi yang diikuti. Apakah fakta seperti itu memang dikehendaki atau minimal dibolehkan secara syar’i?

Makalah yang singkat ini mencoba mengurai masalah yang pelik tersebut dengan mengurutkannya kepada beberapa pembahasan yang terkait seperti di bawah ini: Pertama. Apakah perbedaan hari raya umat Islam itu suatu hal yang diharamkan atau dibolehkan secara syar’i?. Kedua. Apakah jika dibolehkan, perbedaan penetapan tanggal itu berdasar wilayah mathla’ atau wilayatul hukmi? Ketiga. Apakah penetapan hari raya itu kewenangan setiap orang ataukah kewenangan pemimpin kaum muslimin? Keempat. Bolehkah mengingkari pengakuan ru’yatul hilal dengan dasar meragukan?

Masalah Pertama.
Berkenaan dengan pertanyaan perbedaan hari raya, haram atau boleh, perlu diketahui bahwa hari raya dalam Islam ada yang bersifat pekanan, yaitu hari jumat dan ada yang bersifat tahunan, yaitu Idul fitri dan Idul adha. Terkait hari raya Jumat seluruh ulama Islam sepakat tidak boleh ada perbedaan, karena hari raya itu berdasar nama harinya, bukan berdasar tanggalnya. Maka tidak ada solat Jumat kecuali di hari Jumat, walaupun bisa jadi tanggal hari jumat itu berbeda satu negeri muslim dengan muslim lain yang beda terbit hilalnya.

Adapun tentang hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para Ulama Islam; Yang pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa kaum muslimin wajib melaksanakan hari raya dalam satu hari yang sama tanpa harus mempertimbangkan perbedaan terlihatnya hilal pada masing-masing wilayah. Pendapat ini di anut oleh mazhab Hanafy, Maliky dan Hambaly.

Di antara dalil utama mereka adalah:
Bahwa umat Islam adalah umat yang satu (Al Anbiya : 92). Karena itu jika hilal bulan syawal telah dapat dirukyat di suatu wilayah negeri muslim, maka seluruh muslim di negara-negara yang lain yang dekat maupun jauh wajib berhari raya selama mereka mengetahui dan mendapat informasi tentang rukyat tersebut sebelum lewat waktu solat hari raya itu.

Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 185 yang menyatakan bahwa

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ [البقرة: 185]
– حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ» صحيح البخاري (3/ 27)

Perintah berpuasa karena telah terlihat nya bulan, pada ayat dan hadits di atas adalah bersifat kifayah, artinya bahwa jika telah terlihat oleh sebagian kaum muslimin yang terpercaya, maka mencukupi dari seluruh kaum muslimin, tanpa ada pembatasan karena dekat dan jauhnya tempat tinggal mereka, dan tidak juga ada qorinah yang memalingkan kewajiban itu dari mereka yang belum melihatnya.

Mengqiyaskan negeri-negeri yang jauh dengan negeri-negeri yang berdekatan selama mengetahui telah terlihatnya hilal di suatu negeri muslim yang lain, sebagaimana tidak pernah terjadinya perbedaan puasa dan lebaran pada masa Nabi Saw.

Adapun pendapat kedua adalah pendapat yang membolehkan adanya perbedaan hari raya, dan mewajibkan hari raya berdasarkan rukyat masing-masing wilayah mathla’. Pendapat ini dianut oleh madzhab Syafiiyah. Di antara dalil utamanya adalah: Mereka menafsirkan perintah puasa karena terlihatnya hilal (pada surat Al Baqarah dan Hadits Nabi) yaitu hilal di wilayah masing-masing.

Berdasarkan pendapat Ibnu Abbas sebagaimana yang termasyhur dalam hadits Kuraeb riwayat Imam Muslim dan yang lainnya. Dimana Ibnu Abbas di Madinah berbeda awal Romadhan dengan Muawiyah yang berada di Suriah karena perbedaan terlihatnya hilal.

Diqiyaskan kepada perbedaan waktu-waktu shalat pada tiap wilayah yang berjauhan.

Prakteknya, pada jaman-jaman berikutnya hingga jaman modern Islam, kaum muslimin lebih memilih pendapat yang menetapkan hari raya berdasarkan rukyat hilal di masing-masing negara sebagaimana pendapat madzhab Syafiiyah.

Mengingat alasan geografis dan politis. Secara geografis, dengan semakin meluasnya negeri-negeri muslim maka semakin sulit menginformasikan terlihatnya hilal di suatu wilayah ke wilayah muslim yang lain dalam hitungan satu malam.

Di sisi lain terpecah-pecahnya negeri-negeri muslim akibat perang saudara dan penjajahan, menyebabkan munculnya egoisme masing-masing negara muslim untuk terbebas dari mengikuti negara muslim lainnya.

Selain itu, dengan semakin maraknya kecenderungan penggunaan Ilmu Hisab sebagai cara penentuan awal bulan semakin memperkuat adanya perbedaan mathla’ pada beberapa negeri muslim.
Kemudian setelah ditemukannya teknologi transportasi dan telekomunikasi yang canggih, dimana tidak ada lagi hambatan batas ruang dan waktu untuk saling bertukar informasi dalam waktu yang sangat cepat, sehingga dunia ini diibaratkan tinggal hanya satu desa kecil, maka pemikiran untuk mengembalikan kepada kesatuan hari raya sebagaimana pendapat jumhurul ulama, bahkan kesatuan tanggal hijriyah secara keseluruhan, mulai dibahas dan disosialisasikan lagi.

Maka dimulai dengan pembahasan penyatuan satu kawasan atau regional seperti kawasan Asia Tenggara melalui kesepakatan MABIMS, kawasan Timur Tengah, Eropa, dan lainnya. Puncaknya adalah konferensi internasioanl Turki pada tahun 2016 yang merekomendasikan keharusan disepakatinya kalender global Hijriyah.

Masalah kedua.
Karena sekarang ini telah menjadi fakta adanya perbedaan hari lebaran di dunia Islam, dengan alasan adanya perbedaan mathla’ sejalan dengan madzahab Syafiiyah, maka perlu dikritisi, apakah pelaksanaan perbedaan itu benar-benar berdasarkan perbedaan mathla’ hilal ataukah berdasarkan wilayatul hukmi alias berdasarkan pertimbangan wilayah kekuasaan politik?.

Menurut pemahaman penulis, bahwa pelaksanaan perbedaan hari raya lebaran jaman sekarang ini lebih didasarkan kepada pertimbangan wilayatul hukmi daripada perbedaan wilayatul mathla’.

Sebab jika berdasar kepada perbedaan mathla’ hilal, maka negeri muslim yang luas seperti Indonesia, maka perbedaanya harus berdasarkan perbedaan wilayah geografis yang menjadi sebab perbedaan garis mathla’ di tiap-tiap belahan negeri Indonesia, dan tiap tahun bisa berbeda atau bisa juga sama antara wilayah Indonesia yang paling timur dengan wilayah Indonesia yang paling barat.

Demikian juga negeri Turki yang terbentang antar benua Eropa dan Asia, ataupun negeri-negeri muslim lainnya. Jadi harusnya pembagian hari raya itu tidak berdasar wilayah kekuasaan negara, tetapi murni berdasar kemunculan hilal, sebab pada dasarnya negeri muslim itu adalah satu kesatuan.

Maka perbedaan mathla’ yang dianut oleh madzhab Syafiiyah berbeda dengan perbedaan mathla’ yang dianut oleh kaum muslimin saat ini. Sebab pada masa Imam syafii, negeri muslim masih dalam satu wilayatul hukmi, yaitu satu kesatuan dalam kepemimpin Khalifah Abasiyah di Baghdad yang sangat luas, maka timbul permasalahan perbedaan mathla’ dalam satu wilayatul hukmi.

Oleh sebab itu dalam prakteknya, negeri-negeri muslim yang memiliki perbedaan mathla’ dalam satu wilyatul hukmi, mengambil posisi mathla’ yang paling dulu munculnya hilal sebagai standar untuk menyatukan lebaran pada satu kawasan yang mungkin berbeda mathla’ hilalnya.

Inilah salah satu upaya yang dapat dikatagorikan sebagai salah satu bentuk siyasat al syar’iyah atau politik hukum menurut syariat Islam dalam menjaga kesatuan kaum muslimin dalam hari raya minimal berdasar kesatuan wilayah politik dengan cara memadukan pendekatan kesatuan wilayah mathla’ dan kesatuan wilayah hukmi.

Masalah yang ketiga.
Yaitu terkait kewenangan penentuan hari raya, apakah kewenangan individual kaum muslimin ataukah kewenangan lembaga pemerintah. Dalam hal ini para Fuqaha berbeda pendapat dalam hal berpuasa dan membatalkan puasa serta berhari raya.

Sebagian mereka menyatakan bahwa setiap individu terikat oleh pengetahuannya sendiri atau berita yang meyakinkan dari orang lain yang ahli merukyat. Jika seorang yang ahli merukyat telah melihat hilal awal Romadhan dengan yakin maka ia wajib berpuasa meskipun pemerintah belum menetapkan awal Romadhan dan kaum muslimin yang lain belum melaksanakannya.

Demikian juga jika ia yakin telah melihat hilal syawal maka ia wajib berbuka puasa meskipun pemerintah dan kaum muslimin yang lain belum menghentikan puasanya.

Pendapat yang kedua adalah bahwa puasa dan berbuka atau berlebaran itu adalah wajib bersama Imam/pemerintah kaum muslimin dan mengabaikan rukyatnya sendiri. Karena berpuasa dan berbuka itu harus bersama kaum muslimin yang lainnya.

Pendapat ketiga membedakan antara berpuasa dan berbuka. Jika berpuasa, ia wajib melaksanakan berdasar rukyatnya sendiri, tetapi kalau berbuka ia wajib mengikuti pemerintah. Dari semua perbedaan pendapat itu, mereka bersepakat bahwa untuk melaksanakan solat lebarannya wajib bersama pemimpin dan kaum muslimin lainnya, tidak sendiri-sendiri atau kelompok-kelompok.

Oleh karena itu tidak ada rujukan dalam sejarah negeri muslim bahwa kelompok-kelompok kaum muslimin diijinkan menyelenggarakan shalat lebaran baik idul fitri ataupun idul adha di satu negeri muslim berbeda-beda berdasarkan pendapat madzahab masing-masing, padahal sejarah perbedaan madzhab fikih sudah ada sejak masa akhir shahabat, selain kajadian yang diriwayatkan Imam muslim dalam hadits yang terkenal hadits Kuraeb, itupun tidak menceritakan perbedaaan lebaran secara eksplisit hanya menceritakan perbedaan awal Romadhan, disamping itu para fuqaha juga berbeda-beda dalam menafsirkan hadits tersebut.

Kemudian muncul permasalahan baru, ketika satu wilayatul hukmi terjadi perbedaan hari raya akibat perbedaan penentuan kriteria rukyatul hilal seperti di Indonesia. Apakah harus mengikuti kesatuan hari raya berdasar keputusan pemerintah ataukah berdasar keputusan ijtihad masing-masing kelompok tanpa memperdulikan keputusan Pemerintah?.

Pada asalnya puasa dan shalat lebaran adalah ibadah individual (ibadah diyaniyah), karena pelaksanaannya tidak membutuhkan bantuan kekuasaan. Kapan saja seorang telah melihat hilal Ramadhan dan ia sebagai mukallaf, maka wajib puasa. Dan kapan saja ia melihat hilal Syawal, maka ia wajib berhenti puasa, dan segera melaksanakan shalat lebaran.

Firman Allah, “barangsiapa menyaksikan bulan Ramadhan, maka berpuasalah padanya…”(Al Baqarah: 185) dan sabda Rasulullah, “berpuasalah karena melihatnya, dan berbukalah karena melihatnya…” (Al Bukhari wa Muslim).

Yang menjadi persoalan adalah bahwa mayoritas umat Islam tidak bisa mengetahui atau melihat hilal, maka pengetahuan dan penetapan keberadaan hilal diserahkan kepada orang atau lembaga yang mereka percayai, yaitu para ahli ilmu di bidang hisab dan ru’yat.

Persolan berikutnya bahwa ternyata tidak selamanya para ahli ru’yat dan hilal mencapai kesepakatan dalam penentuan terlihatnya hilal. Lalu siapakah yang harus diikuti oleh masyarakat ketika terjadi silang pendapat?.

Maka dalam kondisi seperti ini, penentuan awal dan akhir bulan puasa membutuhkan lembaga yang otoritatif yang wajib ditaati semua pihak, yaitu ulil amri. Maka penetapan dan pelaksanaan hari raya menjadi bersifat qadhaiy, yaitu membutuhkan keputusan pemerintah.

Sebagai dalil atas masalah ini dapat dikemukakan beberapa keterangan di bawah ini, Pertama. Pada masa Rasulullah, beliau dan para sahabatnya memperhatikan dan mengintai datangnya awal bulan Ramadhan maupun akhir bulan Ramadhan. Apabila salah seorang sahabat melihatnya, mereka melaporkan kepada Rasulullah kemudian Rasulullah mengumumkan untuk berpuasa esok harinya.
عن ابن عمر، قال: تراءى الناس الهلال، فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أني رأيته «فصام رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأمر الناس بالصيام» .صحيح على شرط مسلم، ولم يخرجاه (صحيح ابن حبان (8/ 231) , المستدرك على الصحيحين للحاكم
Dari Ibnu Umar, berkata: “Manusia melihat-lihat awal bulan. Kemudian aku memberi tahu Rasulullah bahwa aku telah melihatnya. Maka Rasulullah berpuasa pada bulan itu dan memerintahkan orang-orang (umatnya) agar berpuasa”.

وعن أبي عمير بن أنس عن عمومة له من الصحابة أن ركبا جاءوا فشهدوا أنهم رأوا الهلال بالأمس, فأمرهم النبي – صلى الله عليه وسلم – أن يفطروا, وإذا أصبحوا يغدوا إلى مصلاهم. (رواه أحمد : 5/ 57 و 58: وأبو داود : 115)

Dari Abi Umair bin Anas dari seorang bibinya dari kalangan shahabat, bahwa sekelompok kapilah datang dan mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi memerintahkan agar mereka berbuka dan pagi harinya berangkat ke lapangan untuk shlat (idul fitri).

Dua hadits di atas menunjukan bahwa yang mengumumkan berpuasa dan berbuka (lebaran) adalah Rasulullah. Yaitu dengan beliau memerintahkan sebagian sahabatnya untuk mengumumkan kepada manusia. Tidak diketahui apakah mereka yang telah melihat hilal di masa Rasulullah langsung melaksanakan puasa masing-masing ataukah mereka menunggu pengumuman dari Rasulullah.

Tetapi dengan mempertimbangkan adab para sahabat yang tidak mungkin mereka berani mendahului Rasulullah dalam urusan agama, kuat dugaan bahwa para shahabat menunggu pemberitahuan dari Rasulullah SAW.

Kedua. Fatwa MUI No. 02 tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzul Hijjah yang merupakan hasil Ijtima seluruh perwakilan Ulama se Indonesia, yang menetapkan tiga point keputusan: Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.

Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.

Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Ketiga. Menyatukan idul fitri dan Idul adha dengan mengikuti keputusan pemerintah sebagai langkah saddu dzariah yang wajib, yaitu mencegah terjadinya kerancuan dan perpecahan kaum muslimin dalam ibadah lebaran, minimal pada satu kawasan yang satu mathla’ dan satu wilayatul hukminya.

Karena jika dibolehkan menyelisihi pemerintah maka akan terjadi perbedaan hingga tingkat kampung dan tingkat keluarga. Semakin banyak kelompok dan madzhab di suatu negeri itu makan akan semakin banyak kemungkinan perbedaan hari raya sebagaimana terjadi di Indonesia. Suatu hal yang jauh dari tujuan disyariatkannya hari raya itu sendiri sebagai sarana ibadah sekaligus sebagai wasilah syar’iyah dalam mempersatukan umat dan berbagi kebahagiaan.

Masalah keempat.
Bolehkah menolak atau mengingkari pengakuan rukyatul hilal seseorang yang telah diminta kesaksian dan sumpahnya oleh pemerintah dengan alasan masih meragukan munculnya hilal berdasar kriteria hisab imkanurrukyat?.

Dalam hal ini, penulis berpendapat tidak boleh mengingkari atau menolak pengakuan telah rukyatul hilal dari orang yang ahli hanya karena meragukan atau karena alasan belum munkin terlihat menurut teori dan kriteria hisab kita. Dengan beberapa alasan:

Berdasar hadits Nabi Saw.
وعن أبي عمير بن أنس عن عمومة له من الصحابة أن ركبا جاءوا فشهدوا أنهم رأوا الهلال بالأمس, فأمرهم النبي – صلى الله عليه وسلم – أن يفطروا, وإذا أصبحوا يغدوا إلى مصلاهم. ( رواه أحمد : 5/ 57 و 58: وأبو داود : 115)

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa Nabi Saw, membatalkan puasa beliau dan para sahabatnya di Madinah ketika mendengar pengakuan dan kesaksian sekelompok orang bahwa mereka telah melihat hilal pada malam kemarin. Beliau tidak menolak pengakuan mereka dengan alasan beliau tidak melihatnya. Dengan demikian dalam hal ini berlaku kaidah bahwa yang tidak melihat tidak dapat mengingkari pengakuan orang yang melihat.

Dalam Majmu al Fatawa, Ibnu Taimiyah mengemukakan pandangan para ulama seputar permasalahan seseorang atau sekelompok orang yang melihat hilal awal Ramadhan atau awal Syawal sebelum orang lain melihat. Apakah ia berpuasa dan berbuka sendirian ataukah ia harus bergabung dengan Imam dan kaum muslimin yang lain?.

Dalam hal ini ada tiga pendapat: (1) pendapat yang menyatakan berpuasa dan berbuka sendirian secara sembunyi-sembunyi; (2) berpuasa sendirian secara rahasia dan berbuka (lebaran) dengan semua kaum muslimin; (3) berpuasa dan berlebaran dengan seluruh kaum muslimin. Pendapat ketiga ini yang dinilai paling kuat oleh Ibnu Taimiyah atas dasar hadits Nabi,
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال صومكم يوم تصومون وفطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون )أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَه وَالتِّرْمِذِي وَصَحَّحَهُ)

Dari Abu Huraerah, dari Nabi SAW, bersabda: “Puasa kalian adalah pada hari kalian semua berpuasa, dan hari lebaran kalian adalah pada saat semua kalian lebaran, dan hari kurban kalian adalah pada hari semua kalian berkurban”.

Pada bagian yang lain dari Majmu Fatawa-nya, Ibnu Taimiyah juga mengemukakan pandangannya bahwa jika sekelompok orang di suatu kota telah melihat hilal Dzulhijjah tetapi kesaksiannya ditolak oleh Hakim Kota tersebut, maka ia berpuasa Arofah bersama kaum muslimin pada hari yang ditetapkan oleh Hakim (penguasa) setempat, meskipun mungkin saja yang benar itu adalah penglihatan mereka dan apa yang ditetapkan penguasa itu salah.
وسئل شيخ الإسلام – رحمه الله – : عن أهل مدينة رأى بعضهم هلال ذي الحجة ولم يثبت عند حاكم المدينة : فهل لهم أن يصوموا اليوم الذي في الظاهر التاسع . وإن كان في الباطن العاشر ؟ فأجاب : نعم ، يصومون التاسع في الظاهر المعروف عند الجماعة وإن كان في نفس الأمر يكون عاشرا ولو قدر ثبوت تلك الرؤية … وعلى هذا العمل عند أئمة المسلمين كلهم . فإن الناس لو وقفوا بعرفة في اليوم العاشر خطأ أجزأهم الوقوف بالاتفاق وكان ذلك اليوم يوم عرفة في حقهم (مجموع الفتاوى : 25/ 202)

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 59 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, pasal 52A dikatakan, “Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Pasal pada Undang-Undang di atas memberi kepastian hukum tentang siapa yang berwenang menerima dan menolak kesaksian atas pengakuan melihat hilal.

Artinya bahwa keabsahan pengakuan melihat hilal hanya bisa diterima jika sudah ditetapkan (diakui dan diterima) oleh Pengadilan Agama. Dengan demikian tidak bisa setiap orang yang merasa yakin telah melihat hilal serta merta dapat mengumumkan kepada orang lain dan mengajak berpuasa atau berlebaran, ia hanya bisa menyampaikan kesaksiannya kepada Pengadilan Agama untuk kemudian Pengadilan Agama menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada Menteri Agama.

Penutup.
Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa: Perbedaan hari raya antara satu negara muslim dengan negara musim lainnya karena adanya fakta perbedaan mathla’ hilal dan perbedaan wilayatul hukmi adalah perkara ijtihadiyah masih bisa ditolelir. Tetapi perbedaan hari raya dalam satu wilayatul hukmi dan satu wilayah mathla’ adalah menyelisihi syariat.

Pengumuman dan penetapan awal Ramadhan, Lebaran Idul Fitri dan Iedul Adha yang dapat mengikat semua kaum muslimin adalah kewenangan Ulil Amri. Para ulama dan cendekiawan yang ahli di bidang hisab dan ru’yat, berkewajiban menyampaikan pendapat dan penemuan ilmiyahnya kepada Ulil Amri dalam forum musyawarah.

Keputusan Menteri Agama RI dalam menetapkan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, setelah melalui mekanisme dengar pendapat dan musyawarah Sidang Itsbat dengan seluruh pakar dan ahli di bidang ru’yat dan hisab dari perwakilan Ormas-Ormas Islam, berkedudukan sebagai keputusan Ulil Amri yang harus ditaati oleh semua kaum muslimin Indonesia.

Wajib menerima hasil ru’yat dari orang yang ahli dan telah disumpah serta diterima kesaksiannya oleh lembaga musyawarah atau ulil amri yang sah, dan menolaknya dengan alasan masih diragukan dan tidak sesuai dengan kriteria imkanur rukyat tertentu sebagai patokan ru’yat berdasar ilmu hisab, adalah menyelisihi sunnah Nabi Saw.

Kecuali dengan sesuatu yang lebih Qathiy dari pengakuan Rukyat itu, seperti jumlah hari yang belum mencapai 29 hari atau posisi Bulan dipasikan masih di bawah ufuq. Wallahu a’lam bish shawwab.oleh Jeje Zaenudin.


Next Post

Satpol PP Edukasi Protokol Kesehatan Pedagang di Perum Sudirman Indah Tigaraksa

Sen Apr 19 , 2021
Tangerang – Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Tangerang memberikan edukasi protokol kesehatan kepada para pengunjung dan pedagang kaki […]