Korantangerang.com – Alkisah, Imam Al-Ghazaly dianggap lebih pintar dari Nabi Muhammad SAW oleh salah seorang santrinya. Penulis buku terkenal Ihyaa ‘Uluumu ‘d-Diin itu tak langsung menegurnya, karena memang harus dikoreksi dengan bukti, bukan dengan kata-kata. Imam Al-Gazaly tahu, anggapan santrinya itu keliru.
Suatu malam, Al-Ghazaly bangun, seperti biasa, untuk salat tahajud. Santrinya yang sedang tidur nyenyak itu pun disuruh bangun untuk memasak air. “Bangun, Nak! Panaskan air, saya mau wudu!” perintah Al-Ghazaly. “Oh, ya! Sebentar saja, Imam! Saya masih ngantuk,” jawab santrinya.
Santrinya belum juga bangun, padahal waktu subuh terus semakin dekat. Al-Ghazaly kembali menyuruh bangun santrinya. “Bangun, Nak! Saya butuh air hangat untuk wudu. Panaskan air!” perintah Al-Ghazaly, kedua kalinya. Santrinya itu memang bangun, tapi minta waktu lagi, “Sebentar saja Imam, saya masih ngantuk,” jawabnya.
Subuh semakin dekat. Santrinya belum juga bangun. Al-Ghazaly meminta santrinya untuk ketiga kalinya. Jawaban santrinya tetap sama, seperti sebelumnya. Al-Gazaly mestinya marah karena diabaikan santrinya.
Tibalah waktu subuh. Azan pun berkumandang. Santrinya bangun dan kaget karena tak sempat memasak air untuk gurunya itu. Al-Ghazaly mendekati santrinya itu, dan bertanya, “Siapa yang menyuruh bangun muazin itu, Nak?”.
Santrinya menggelengkan kepala, tandanya tak tahu.
Lalu, Al-Ghazaly sendiri yang menjawabnya. “Dengar, Nak! Orang yang menyuruh bangun muazin itu adalah Nabi Muhammad SAW Betul, dia tak mengenalnya seperti kita, karena tak sezaman. Nabi Muhammad SAW dan muazin itu dipisahkan waktu dan tempat yang sangat jauh”.
Kepada santrinya yang sedang dirundung malu itu, Al-Ghazaly mengingatkan bawa muazin itu begitu patuh kepada Nabi Muhammad SAW. “Dia sanggup mengalahkan rasa kantuknya untuk mengumandangkan azan, padahal mereka tak sezaman, tak saling mengenal,” kata Al-Ghazaly kepada santrinya itu.
“Saya sezaman denganmu, Nak! Saya mengenalmu, Nak! Tapi, perintahku untuk memasak air, kau abaikan begitu saja,” tambah Al-Ghazaly. “Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW tetap lebih pintar dari saya,” pungkas Al-Ghazaly, telak, dan bijak. (Dean Al-Gamereau)