Belanja Rumput 5 Miliar Dispora Kota Tangerang Dipertanyakan


Kota Tangerang – Setelah mencuat soal belanja rumput sintetis yang fantastis dan tempat atau lokasi pekerjaan yang tidak lazim di Dinas Pemuda dan Olahraga (DISPORA) Kota Tangerang, Praktisi dan Aktivis dimasyarakat buka-bukaan tentang aturan dan dasar hukum yang telah ditabrak dalam prosesnya.

Akhwil S.H menyampaikan pandangan hukum sebagai bentuk edukasi publik, serta partisipasi aktif di masyarakat dalam menjalankan fungsi sosial kontrol, sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan dijalankan dalam kerangka hukum yang berlaku.

Menurutnya, bentuk kritik konstruktif terhadap praktik-praktik pengelolaan keuangan negara dan daerah, adalah bentuk demokrasi yang sehat dan patut dikawal secara bersama, demi mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.

“Merespons pemberitaan media dan temuan di lapangan terkait proyek pengadaan rumput sintetis oleh Dinas Pemuda dan Olahraga (DISPORA) Kota Tangerang sebesar Rp.5 miliar pada Tahun Anggaran 2024 yang diduga menyimpan sejumlah kejanggalan administratif maupun substansi hukum, diketahui bahwa lokasi pelaksanaan yang tercantum di dokumen pengadaan tidak sesuai realitas lapangan dan tidak ditemukan secara fisik, jelasnya.

Selain lokasi proyek, lanjut Akhwil, proses pengadaan tidak dilakukan melalui lelang terbuka (tender), melainkan menggunakan sistem e-purchasing (e-katalog). Muncul dugaan adanya pengondisian penyedia (vendor) serta pengulangan pola pengadaan tidak lazim pada proyek-proyek DISPORA sebelumnya.

Kepatuhan terhadap Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021, setiap pengadaan wajib dilaksanakan berdasarkan asas efisiensi dan efektivitas, transparansi, akuntabilitas, persaingan sehat, jeadilan dan tidak diskriminatif.

“Pengadaan dengan nilai besar seperti Rp5 miliar idealnya dilakukan melalui mekanisme lelang terbuka, kecuali dalam kondisi tertentu yang dibenarkan oleh regulasi. Ketika pengadaan dilakukan tanpa tender dan disertai lokasi proyek yang tidak dapat diverifikasi, maka hal ini berpotensi melanggar asas transparansi dan akuntabilitas, yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap instansi pemerintah, ” ungkap Akhwil.

Dijelaskan juga, temuan tersebut berpotensi menjadi tindak pidana korupsi jika proyek tersebut mengandung unsur ketidaksesuaian antara dokumen pelaksanaan dan fakta lapangan, juga harga satuan yang melebihi kewajaran pasar (indikasi mark-up), dan penyalahgunaan wewenang dalam menetapkan penyedia, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan.

Diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan.

“Kedua pasal ini mengandung ancaman pidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, serta denda hingga 1 Miliar,”sambungnya,Rabu (18/06/2025).

Selain itu kata Akhwil, aspek Administrasi Pemerintahan dan Perbuatan Melawan Hukum. Karena tindakan pejabat publik harus sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

“Jika proyek ini dilakukan tanpa justifikasi kebutuhan yang sah, atau dilakukan dengan cara melenceng dari prosedur yang ditetapkan, maka pejabat yang bersangkutan dapat dikenai sanksi administrasi dan bahkan dapat digugat melalui mekanisme peradilan tata usaha negara (PTUN) oleh masyarakat yang dirugikan secara langsung maupun tidak langsung, ” ungkapnya.

Berdasarkan uraian di atas, lanjutnya, Kadis DISPORA dan PPK lainnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terbukti mengetahui dan menyetujui pengadaan yang menyimpang dari prosedur hukum. Dijerat Pasal 3 UU Tipikor karena jabatannya memberikan kuasa terhadap pengambilan keputusan strategis.

“Keoala Dinas, PPK, Pengawas, Bendahara Dinas dan penyedia (Vendor) dapat dikenakan sanksi pidana dan administratif apabila terbukti lalai atau turut serta dalam pelaksanaan pengadaan yang fiktif, tidak tepat guna, atau menguntungkan pihak tertentu secara tidak sah serta melakukan persekongkolan, maka selain pidana korupsi bersama-sama, juga dapat dikenai sanksi blacklist dari LKPP, serta digugat secara perdata karena merugikan negara, ” ujar Akhwil.

Akhwil menyimpulkan, proyek pengadaan rumput sintetis DISPORA Kota Tangerang bukan hanya menimbulkan pertanyaan dari sisi keuangan negara, tetapi juga menyimpan potensi pelanggaran hukum serius jika indikasi penyimpangan yang disorot masyarakat terbukti benar.

Oleh karena itu sebagai aktivis yang aktif di masyarakat, dirinya meminta lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dan KPK RI perlu segera melakukan penelusuran dan investigasi independen terhadap seluruh proses pengadaan di DISPORA sejak tahun 2022 hingga 2024.

Selain itu, BPK dan APIP (Aparat Pengawas Intern Pemerintah) didorong melakukan audit investigatif khusus untuk menghitung potensi kerugian negara. Dirinya juga berharap, DPRD Kota Tangerang dan masyarakat sipil diminta tidak tinggal diam dan segera menggunakan hak pengawasan sebagaimana amanat UU Pemerintahan Daerah.


Next Post

RSUD Pondok Aren Adakan Sunatan Massal, Sekda: Ini Contoh Pelayanan yang Menyentuh Warga

Kam Jun 19 , 2025
PONDOK AREN – Puluhan anak-anak antusias mengikuti sunatan massal gratis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pondok Aren, Kota Tangerang […]