Koranangerang.com – Ketika sampai di pintu gerbang keluar Bandara Hanoi dan malam terasa semakin dingin, saya membayangkan seorang lelaki berkaca mata tebal, berkulit putih dan berbaju batik merah segera muncul di depan pintu. Ternyata, tak ada. Atau, barangkali Adinda Le yang akan menjemput saya ini masih dalam perjalanan.
Saya mulai berpikir akan menginap saja dulu di hotel dekat bandara. Tetapi sebelumnya, saya ingin bertanya dulu kepada orang lain tentang Adinda Le. Siapa tahu, dia mengenal lelaki ganteng berbaju batik merah yang sedang saya cari ini.
Saya mencoba mendekati seorang lelaki yang sedang berdiri, seperti sedang menunggu seseorang.
“Barangkali, Anda mengenal orang ini?” tanya saya, sambil memperlihatkan fotonya.
“Oh, ini saya,“ jawabnya.
Alhamdulillah, inilah ternyata orang yang sedang saya tunggu! Fokus saya mencari lelaki berbaju batik merah membuyarkan bayangan wajah Adinda Le yang selama ini hanya saya lihat fotonya di website Voice of Vietnam (VOV).
Kami berjabat tangan, bahagia sekali. Adinda Le, atau nama lengkapnya Le Trung Coung, wartawan Voice of Vietnam (VOV), Seksi Asia Tenggara, mengaku tak memakai batik karena memang cuaca cukup dingin.
Adinda Le berterus terang, sangat beda sekali ketika melihat foto saya di internet dan saya di hadapannya.
“Di foto ganteng, Pak!” kata Adinda Le kepada saya, lalu tertawa.
Candaan Adinda Le itu menyebabkan saya bisa bercerita lebih santai. Sebetulnya, terus terang saja, Adinda, saya merasa akan berhadapan dengan orang-orang serius di negera Republik Sosialis Vietnam. Jadi saya pikir, berbicara pun harus selalu serius. Ternyata saya salah duga.
Muslim Prayer Room di Toko Cendera Mata
Teh ini terasa enak, meski sangat pahit di lidah saya. Cangkir kecil dengan teko khas Vietnam menemani kami ngobrol santai tentang apa saja, di sebuah toko besar yang menjual berbagai cendera mata. Di ruang lain, ada sejumlah makanan khas Vietnam, termasuk teh yang kemudian saya beli untuk oleh-oleh di tanah air.
Di sebelah sana ada perempuan-perempuan cantik yang sedang menyulam kain. Mereka berbaju seragam hitam putih. Harga kain sulam cukup mahal. Ada juga yang lebih murah, tetapi hasil cetakan.
Ya, toko ini menyediakan tempat khusus untuk pembeli atau siapa saja yang ingin beristirahat. Di sini, boleh minum teh gratis, sepuasnya. Buat saya, ini daya tarik untuk wisatawan atau siapa saja yang berkunjung ke sini.
Hal lain yang menarik buat saya, toko ini menyediakan tempat sholat. Ada ruang khusus untuk ibadah umat Islam. Adinda Le menunjukkan tempat sholat itu dan mempersilahkan saya kalau mau sholat dulu.
“Belum waktunya, baru jam sembilan pagi,” kata saya.
Adinda Le tampak heran, padahal dia mengajak saya ke sini, selain untuk beristirahat, juga memberi kesempatan kepada saya kalau mau sholat dulu.
Akhirnya, saya harus mengajari Adinda Le tentang waktu sholat.
“Bahwa sholat itu ada waktunya, lima kali sehari, subuh, zuhur, asar, magrib, dan isya. Nanti, saya sholat zuhur sekitar pukul 12.00,” kata saya.
Oleh karena sedang safar (dalam perjalanan), kata saya lagi kepada Adinda Le, maka sholat saya boleh dijamak (digabungkan), zuhur dan asar serta magrib dan isya. Adinda Le baru paham, bahkan sempat menghafalkan nama-nama sholat lima waktu untuk mengingatkan saya nanti.
Sholat di Restoran Kapal Kayu ketika sampai di Dermaga Teluk Cay, setelah perjalanan kira-kita tiga jam dari jantung Kota Hanoi, saya diajak naik kapal kayu untuk menyeberang ke kawasan Teluk Ha Long.
Perjalanan kesana kira-kira 30 menit. Kawasan teluk ini jadi tujuan semua wisatawan yang datang ke Vietnam.
Waktu salat zuhur tiba. Tak ada musholla, apalagi masjid. Saya mau sholat di kapal kayu penyeberangan saja, di ruang restoran kapal, karena lebih bersih. Maklum, tempat makan.
Banyak wisatawan asing di restoran ini. Mereka pun sama menuju kawasan Teluk Ha Long. Adinda Le memahami betul saya dan menjaga saya sahoat di kursi dalam restoran kapal kayu ini.
Waktu makan siang tiba. Saya satu meja dengan wisatawan asing yang lain. Adinda Le mengingatkan saya, bahwa ada daging yang tak boleh dimakan seorang muslim.
Adinda Le menyebutnya daging B-2. Saya tak tahu apakah Adinda Le biasa memakan daging B-2 itu atau tidak. Tetapi, ketika itu Adinda Le malahap makanan ikan laut dan.sayur-sayuran, seperti saya.
Adinda Le mungkin tak tahu bahwa betapa bahagianya saya ketika itu. Saya bisa sholat zuhur dan asar dijamak, juga bisa menikmati makanan yang halal.
Saat saya sedang menikmati laut luas sejauh mata memandang, seorang perempuan 20-an tahun pedagang asongan menawarkan beberapa jenis cendera mata. Sudah biasa memang, dalam kapal kayu ini selalu saja ada pedagang yang menghampiri wisatawan.
Atau jangan kaget, kalau tiba-tiba bisa datang pedagang asongan di kapal tongkang merapat dengan gesitnya menawarkan dagangan mereka kepada penumpang lewat jendela kapal. Seorang perempuan bertopi lebar menawarkan jagung rebus lalu dibeli seorang wisatawan. Ada juga buah-buahan seperti rambutan.
Dalam kapal kayu ini, usai sholat, saya berebut tawar dengan bahasa “Tarzan”. Kadang, dia memberi isyarat dengan tangan halusnya, atau berbahasa Inggris yang terpatah-patah, tersenyum manis pula atau tertawa renyah, mungkin karena saya dianggap lucu ketika menawar harga cendera mata.
Terus terang saja, Adinda Le, saya memborong cendera mata itu sebagai ungkapan kebahagiaan bahwa kewajiban agama saya sudah bisa dipenuhi dengan baik, meski secara ideologis, saya sangat terasing di sini. Ya, terasing Adinda Le, bahkan bukankah Adinda pernah meminta saya jangan sholat di tempat banyak orang kalau-kalau nanti merasa malu.
Dari Lantai Delapan
Adinda Le memahami betul, saya hanya mau makan ikan laut (see food) saja. Di hotel tempat saya menginap pun, tak luput dari perhatiannya. Dia meminta makanan halal saja untuk saya kepada petugas hotel.
Di hotel ini, saya makan setiap pagi bersama-sama penghuni hotel lainnya, tetapi kalau makan malam hanya seorang diri. Kalau tak makan ikan laut, pasti nasi goreng telur. Nasi goreng ikan laut jadi favorit saya selama di hotel.
Kalau makan malam, biasanya pukul 09.00. Saya sengaja duduk di dekat jendela. Dari lantai delapan hotel ini, saya menyaksikan Kota Hanoi pada waktu malam. Hanya seorang diri di retoran hotel ini karena memang jam makan khusus untuk saya. Hotel ini terletak di tengah-tengah banyak bangunan tua peninggalan Prancis saat menjajah negeri ini selama ratusan tahun.
Pelayan hotel begitu ramah, dan memberi kebebasan kepada saya untuk tinggal berlama-lama di lantai delapan ini. Disini sebetulnya, saya merancang banyak tulisan tentang Vietnam, untuk kemudian ditulis di tanah air. Andai Vietnam masih perang, mungkin saya tak akan tenang di lantai delapan ini.
Jinan, “Ini Masalah Buat Kita”
Suatu pagi di lantai delapan hotel ini, saat sedang sarapa pagi, saya berhadap-hadapan dengan seorang lelaki yang tampaknya dari Timur Tengah. Saya mengamatinya dan ternyata dia pun mengamati saya.
Dia bertanya lebih dahulu.
“Anda dari mana?” tanyanya. “Dari Indonesia,” jawab saya. “Muslimkah Anda?” tanyanya lagi. “Ya,” jawab saya.
Tiba-tiba dia pindah ke meja saya. Lalu mengajak berjabat tangan, dan bercerita tentang dirinya, juga menanyakan tentang saya. Nama lelaki itu Manarul Jinan, asal Bangladesh. Bekerja di Vietnam sebagai konsultan perencanaan kota. Banyak hal yang dibicarakan sambil sarapan pagi, dan satu hal yang kami sepakati.
Kota Hanoi mestinya lebih banyak menyediakan makanan halal dan musholla untuk melayani wisatawan muslim.
“ini masalah buat kita,” kata Jinan.
Ternyata, Makan Ikan Laut Lagi
Suatu hari, saya diajak makan siang di restoran halal, masih di kawasan Kota Hanoi. Kata Adinda Le, ada tiga restoran makanan halal di kota ini, tetapi sekarang tinggal dua restoran lagi.
Restoran yang saya kunjungi memang sempit, tetapi cukup bersih. Para pelayannya, tampak anak-anak muda Vietnam. Saya pun bertemu dengan seorang ibu berjilbab paruh usia. Dia wisatawan dari Malaysia. Sama seperti saya, berkunjung ke sini hanya untuk mencari makanan halal.
Di restoran ini, Adinda Le mempersilakan saya memesan daging apa saja karena halal. Saya memilih daftar menu. Banyak masakan daging memang, dari daging ayam sampai daging sapi.
Ah, ternyata, saya hanya pesan ikan laut juga, mie, lalu ditambah telur dadar. Adinda Le tertawa ketika mengetahui pesanan saya.
“Ternyata, makan ikan laut juga,katanya.”
Saya pun tak tahu, mungkin karena terlanjur suka, bahkan di restoran halal sekali pun saya tetap pesan ikan laut. Saya paham, Adinda Le ingin melihat saya makan daging, setelah tahu setiap hari saya hanya makan dengan ikan laut dan sayuran.
Oleh karena itu, Adinda Le mengajak saya ke restoran halal yang milik orang India ini. (Dean Al-Gamereau, dari Catatan Jakarta – Hanoi 100815)