Pandeglang – Sebanyak 53,393 Kepala Keluarga (KK), atau sekitar 64,624 jiwa warga kurang mampu sebagai penerima Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), melalui jalur Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Pemerintah Provinsi Banten yang ada di Kabupaten Pandeglang, mulai 1 Januari 2020 lalu, bila mengalami sakit dan berobat ke Puskesmas maupun RSUD, tidak akan lagi gratis, lantaran klaim jaminan kesehatan dari BPJS tidak lagi didapatkanya.
Melihat persoalan tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, Raden Dewi Setiani mengaku bila dirinya belum mengetahui secara pasti, apa alasan penonaktifan puluhan ribu peserta JKN-KIS PBI itu. Padahal pihaknya berencana baru akan melakukan rapat bersama Pemprov Banten, serta pihak dan BPJS.
“Mungkin ada kesalahan informasi dari Pemprov (Banten) dan BPJS. (Tapi) Saya mau rapat dulu di (Pemprov) Banten,” aku Keala Dinkes Pandeglang, Raden Dewi Setiani, Kamis (30/1/2020).
Kendati demikian, Kepala Dinkes Pandeglang ini pun menyebutkan, dikeluarkannya puluhan ribu PBI itu karena adanya NIK yang ganda dan tidak valid. Hal itu menyebabkan sistem tidak bisa menerima data tersebut.
“Info awal itu akibat dari NIK yang tidak valid, ada yang double, jadi ditolak oleh sistem,” jelasnya.
Dewi menilai, kondisi itu akan menjadi beban baru bagi pemerintah daerah. Alasannya, jaminan kesehatan puluhan ribu warga itu harus ditanggung oleh Pemkab. Sementara keuangan daerah, dipandang belum siap untuk menanggung seluruh jaminan kesehatan yang semula diakomodir Pemprov Banten.
“Dengan dikeluarkannya puluhan ribu KK itu, tentu akan menjadi beban pemda. Mengingat Pemda tidak memiliki anggaran besar meng-cover kepesertaan. Karena nilai PAD kita lebih kecil dari daerah lain. Sedangkan masyarakat miskin Pandeglang banyak,” keluhnya.
Sebagai gantinya lanjut Dewi, mereka yang tidak lagi aktif sebagai peserta JKN-KIS PBI, bisa memanfaatkan layanan Surat Keterangan Miskin (SKM). Akan tetapi, itu juga akan menjadi buah simalakama lantaran biaya penerima bantuan sosial tak direncanakan hanya dianggarkan tak lebih dari Rp2,5 miliar.
“Beban ini berupa (membengkaknya) dana tak terduga. Penggunaan SKM maksimal Rp5 juta, sementara kalau ada yang di operasi biayanya lebih dari Rp5 juta,” tuturnya bingung.
Dampak penonaktifan JKN-KIS PBI itu pun langsung dirasakan masyarakat. Salah seorang warga asal Kampung Cilambungan, Desa Mandalawangi, Kecamatan Mandawangi, Aryanti mengaku ayahnya ditolak berobat di RSUD Berkah Pandeglang lantaran kartu JKN KIS PBI-nya tidak terdaftar.
“Itu kan BPJS-nya baru, baru dipakai kemarin pas si bapak masuk rumah sakit, terus masuk ke IGD suruh ngeberesin persyaratan. Dari situ kami tahu BPJS-nya enggak aktif. Dan itu BPJS dari pertama kali dikasih belum pernah dipakai,” katanya heran.
Padahal sambung Yanti, keluarganya baru menerima kartu kepesertaan JKN PBI dari pemerintah pada tahun lalu. Bahkan akhir tahun 2019, adiknya sempat memanfaatkan JKN-KIS PBI untuk berobat dan tidak ditemui masalah.
“Baru tahun kemarin dikasihnya itu pun baru beberapa bulan, akhir tahun yang ngasihnya Pak RT. Satu keluarga itu ada empat. Punya adik saya pernah dipakai di puskesmas dan bisa dipakai. Tapi punya mamah sama adik saya yang bungsu tahu aktif atau tidak karena belum pernah dicek,” bebernya.
Akibatnya, keluarga Aryanti harus menempuh cara lain agar orang tuanya yang diduga terjangkit DBD, mendapat perawatan di RSUD Berkah Pandeglang melalui layanan SKM dari Dinas Sosial. Kini Aryanti mengaku sedang mengurus kepesertaan BPJS untuk orang tuanya.
“Enggak lewat puskesmas, karena bapak saya kejang-kejang, kami langsung ke IGD RSUD Pandeglang. Dan sekarang masih di rawat di rumah sakit. Enggak lewat umum. Ada yang menyarankan untuk menggunakan SKM. Dan sekarang sudah diurus BPJS-nya,” terang Yanti. (Daday)