Korantangerang.com – Nabi Muhammad saw hadir sebagai rasul dan sebagai presiden atau kepala negara. Sebagai rasul, selepas beliau wafat, tak akan ada lagi orang yang akan diutus. Beliau nabi atau rasul terakhir. Jadi, kalau kemudian ada yang mengaku nabi atau rasul, setelah beliau wafat, pasti wadul alias bohong.
Sebagai rasul, sudah selesai. Sebagai presiden, harus diganti atau diteruskan. Siapa pengganti atau penerus beliau sebagai presiden atau kepala negara? Tak ada perintah atau penunjukkan, dan oleh karena itu ada pemilihan (umum) presiden atau kepala negara.
Calon pengganti Nabi saw akhirnya mengerucut kepada dua orang : Abu Bakar dan Umar – yang sebelumnya mereka saling tunjuk agar maju jadi presiden, jadi khalifah. Abu Bakar terpilih, dimulai dengan inisiatif Umar.
Pidato pertama Abu Bakar, setelah terpilih jadi khalifah, antara lain, “Sungguh, aku dipilih untuk memimpin kalian, padahal aku bukan yang terbaik di antara kalian. Kalau aku benar, dukunglah! Kalau aku salah, luruskanlah… ”
Kita mencatat, Abu Bakar sahabat yang kali pertama masuk Islam (dari kalangan kaum laki-laki), teman yang menyertai perjalanan historis dan patriotis hijrah Nabi saw dari Makkah ke Madinah, juga jadi imam salat wajib jelang Nabi saw wafat.
Para peneliti sejarah menyebutkan, ini adalah isyarat Nabi SAW : bahwa penggantinya selepas wafat adalah Abu Bakar. Umat, tampaknya, menyadari, dan memahami ini, sehingga tak berani melampaui Abu Bakar. Padahal, kalau Umar mau, bisa menjadi khalifah, apalagi dengan dukungan Abu Bakar aendiri.
Kita mencatat pula, Abu Bakar seorang rendah hati (bukan rendah diri), atau tawaadlu’. Buktinya, dalam pidato, Abu Bakar menyebut diri bukan yang terbaik di antara kalian – padahal sebetulnya memang yang terbaik di antara para sahabat.
Kalau berkaca pada Abu Bakar, sifat rendah hati inilah yang harus diserap oleh para calon pemimpin, disamping sudah punya modal sosial, modal amal, dan modal ilmu.
Kita yakin, Abu Bakar sebelumnya tak pernah mempersiapkan diri jadi khalifah, tetapi rendah hatinya itulah yang “memaksanya” jadi khalifah.
Abu Bakar tak pernah berpolitik praktis untuk menduduki jabatan khalifah, tetapi suasana “sosial politik praktis” dewasa itulah yang “mendesaknya” agar mau menerima jabatan khalifah.
Zaman sekarang, agaknya, berbeda, termasuk untuk jadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Orang berkelakar, untuk semua itu harus memenuhi syarat elektabilitas, popularitas, kapabilitas, dan…isi tas.
Lalu, adakah rendah hati diberi tempat yang terhormat untuk tampil. sebagai modal utama jadi kepala daerah, seperti modal utama Abu Bakar?
Akhirnya, termasuk normal kalau ada yang ingin jadi kepala daerah atau jadi wakil kepala daerah. Akan termasuk tak normal kalau ada yang ingin jadi nabi atau jadi rasul. (Dean Al-Gamereau).