Emak-emak itu ditaksir berusia setengah abad. Di balik kulit wajahnya yang sudah keriput, tampak ada kebahagian yang nyaris sempurna : bahagia mendapatkan beras murah satu pak (Rp52.000,00), setelah antre dan berdesakan, selama beberapa jam. Wartawan televisi mewawancarainya, di pintu keluar.
Saya membaca kebahagiannya itu, kebahagiaan yang pasti bukan buatan atau dibuat-buat. “Di pasar, mahal. Sekilo Rp17.000,00. Di sini Rp10.000,00-an,” a jawabnya, tersenyum, dan kedua tangannya mendekap beras.
Saya membayangkannya, kebahagiaan yang sempurna seperti apa kalau beras itu diperoleh gratis. Mungkin sujud syukur? Apakah negara akan bangkrut kalau beras itu dibagikan gratis kepada yang berhak? Wallaahu a’lam! Beras itu dia beli, dan Pemerintah tak terlalu rugi.
Mungkin dia mendengar pula kampanye makan nasi gratis dan minum susu gratis. Baginya, boleh jadi, semua itu sebuah harapan yang mewah, dan jadi sebuah penantian. Apakah mereka pun menginginkan beras gratis?
Bagi orang-orang kaya, tentu saja, tak akan tertarik antre beras murah. Apalagi harganya hanya terpaut sekitar Rp7.000,00 perliter atau perkilogram. Berbeda dengan tertangga mereka yang justru jadi pemburu beras murah itu. Tak ada pertaruhan harga diri, yag pentig happy mendapatkan harga beras murah. Harga diri mereka “kubur” dalam buti-butir beras murah.
Saya cemburu melihat kebahagiaan sebagian pemburu beras murah itu. Substansi kebahagiannya. Mereka tak sedang ber-acting. Wartawan pun, saya yakin, hanya melakukan wawancara spontan, dalam door stop interview. Tak ada pengarah gaya, atau rekayasa jawaban sebelumnya.
Mereka tak sedang bermain “sandiwara” di arena front stage (panggung depan) dengan wajah gembira, padahal yang sebenarnya adalah wajah asli sengsara di panggung belakang, alias di arena back stage. Kebahagiaan mereka di depan kamera televisi sama sebanding lurus dengan kebahagiaan mereka dalam perjalanan pulang ke rumah. “Panggung” beras murah adalah “panggung” tempat mengekspresikan kebahagiaan.
Apakah mereka pernah membaca, atau mengenal teori Dramaturgi Erving Goffman tentang manusia di panggung depan dan di panggung belakang? Belum tentu. Namun, dalam soal mereka mendapatkan beras murah, meski setelah berdesakan dan menunggu berjam-jam, adalah realitas kebahagiaan, baik di panggung depan maupun di panggung belakang. Mereka mengekspresikan kebahagiaan apa adanya. Sekali lagi, apalagi kalau beras itu gratis!
Mereka tak seperti (sebagian) politisi yang terkadang mengobral janji manis di panggung depan kampanye, lalu disambut tepuk tangan meriah yang nyaris tak berkesudahan. Namun, di panggung belakang kampanye, mereka masih berpikir tentang cara merealisasikannya. Kemudian harus menggelar rapat, dan mengerutkan jidat, lalu menghitung anggaran perhari, perbulan, dan pertahun.
Kata ahli, problem Asia adalah problem sepiring nasi. Bagi Indonesia, mungkin benar, Antre beras murah di mana-mana, dan disiarkan bebas oleh media massa, jadi salah satu indikasinya. Pada saat rakyat lapar, tentu saja, mereka akan memilih sepiring nasi daripada demokrasi. Perut lapar tak bisa ditunda. Pemilu bisa, seperti wacana tempo hari, berkaitan dengan pro dan kontra perpanjangan masa jabatan presiden dengan menunda pemilu 2024.
Kalau pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (bin Presiden Joko Widodo) terpilih, berdasarkan hasil rapat pleno KPU RI, mungkin bisa disebut tiga periode dalam format yang lain, yang ditempuh secara “cerdas” dan “konstitusional”.
(Dean Al-Gamereau. Warga negara biasa, yang sudah terbiasa dengan keadaan biasa-biasa saja. Tinggal di Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten).