YANG TAK TERLIHAT DARI FORUM RELIGION 20 (R20) SUMMIT BALI


Korantangerang.com – Beriringan dengan penyelenggaraan forum G20 Bali, telah diselenggarakan pula forum pemimpin agama atau Religion of Twenty (20) Summit. Ini adalah Forum para pemimpin agama-agama dan sekte-sekte dengan peserta utama dari negara-negara anggota G20 dengan memanfaatkan posisi presidensi Indonesia di G20 tahun ini. Meski demikian, R20 juga mengundang para pemimpin agama dari negara lain di luar G20.

Perhelatan Forum Agama G20 atau R20 digelar PB NU bersama Liga Muslim Dunia atau Muslim World League (MWL) di Nusa Dua, Bali, pada 2-3 November 2022. Ia menjadi engagement group G20. Menurut Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PB NU, setidaknya ada 338 partisipan yang hadir pada perhelatan R20, yang berasal dari 32 negara. Sebanyak 124 berasal dari luar negeri. Forum tersebut menghadirkan 45 pembicara dari lima benua.

Tentu ini sebuah langkah besar dan harus diapresiasi oleh semua umat beragama dan khususnya Muslim Indonesia. Diadakan di Bali pada malam KTT G20 para pemimpin dunia, forum Agama 20 (R20) menampilkan lebih dari 160 pemimpin lintas agama berbicara tentang pentingnya memelihara agama sebagai sumber solusi global. Yang pertama dari jenisnya, konferensi R20 diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muslim World League (MWL) yang berbasis di Arab Saudi.

Holland Taylor, CEO, Center for Shared Civilizational Values ​​kepada media mengatakan: “R20 didirikan oleh Nahdlatul Ulama, bermitra dengan Liga Muslim Dunia yang berbasis di (tanah) Makkah-Madinah untuk memberikan suara kepada para pemimpin agama untuk membantu memastikan bahwa agama berfungsi sebagai sumber solusi yang murni dan dinamis daripada masalah.”

Karena Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20 tahun ini, pemerintah Indonesia memberikan dukungan penuh terhadap inisiatif R20, dengan Presiden Joko Widodo memberikan pidato peresmiannya. Di akhir pertemuan, tongkat estafet diserahkan ke India yang menjadi tuan rumah berikutnya untuk G20. Pandangan tentang peralihan tongkat estafet dari negara mayoritas Muslim ke negara mayoritas Hindu (dan ini akan berlanjut ke Brasil, yang memiliki mayoritas Kristen sebagai negara tuan rumah untuk pertemuan G20 2024) mengirimkan pesan keragamannya sendiri.

Masalah global seperti kesehatan, ekonomi, iklim, dan teknologi, selain isu-isu seperti perang, kebencian, dan ketidakharmonisan, telah lama dianggap sebagai masalah bersama, masalah semua umat beragama, tak terkecuali apapun agamanya. Bahwa para pemimpin agama dan budaya juga dapat memainkan peran pelengkap belum sepenuhnya diapresiasi oleh para pemimpin politik.

Politisi, teknokrat dan profesional sudah sejak lama dianggap seperti dewa dan memiliki legitimasi jauh diatas para pemimpin agama,. Ekonomi dan teknologi- dalam batas tertentu- sudah dianggap seperti melebihi kemampuan agama sebagai sumber solusi bagi umat manusia.

Faktanya permasalahan kehidupan umat manusia tak kunjung bisa terselesaikan – kalau tidak dikatakan memburuk dari waktu ke waktu. Bahkan sebaliknya justru menjadi sumber alasan penindasan umat manusia oleh manusia yang lain, dan tentunya menjadi fokus sumber konflik.
Dalam konteks inilah inisiatif R20 menjadi penting untuk membawa kepemimpinan agama dan budaya ke dalam wacana konstelasi global dan lokal. Baik itu dalam konteks ekonomi, teknologi, maupun politik.

Selepas agenda konferensi di Bali, rombongan partisipan R20 diajak mengunjungi Jawa Tengah dan Bali. Mereka bertolak ke Yogyakarta pada Jumat (4/11/2022). Di Jogja inilah Forum Religion Twenty (R20) summit mengeluarkan komunike bersama.

“R20 menyerukan kepada para pemimpin agama, pemimpin politik, dan orang-orang yang berkehendak baik dari setiap agama dan bangsa untuk bergabung dalam membangun sebuah aliansi global yang didirikan di atas nilai-nilai peradaban bersama,” demikian bunyi Komunike yang dibacakan secara serempak.
Setidaknya terdapat 11 poin rincian isi komunike tersebut.

Diantaranya : Mengembangkan dan mengimplementasikan inisiatif nyata yang akan membangun jembatan antar bangsa dan peradaban; mencegah senjata politik identitas; dan membatasi penyebaran kebencian komunal.

Komunike kemudian ditutup dengan pernyataan, “Kami, para pemimpin agama dari negara anggota G20 dan di tempat lain di seluruh dunia, sangat prihatin dengan tantangan global seperti: seperti kerusakan lingkungan, bencana alam dan bencana buatan manusia, kemiskinan, pengangguran, orang terlantar, ekstremisme, dan terorisme,”.

APA YANG TIDAK TERLIHAT?

Isu-isu yang diangkat dalam R20 menitikberatkan pada menempatkan agama sebagai solusi bukan masalah dengan mengangkat masalah internal dalam agama, hubungan antaragama, dan mencari solusi bersama atas masalah kemanusiaan. Yang paling menonjol adalah, bagaimana penyelenggara (PB NU) berusaha menunjukan pada dunia, betapa tinggi tingkat toleransi umat beragama (khususnya umat islam) di Indonesia.

Dan itu sangat baik sebagai upaya awal menuju soft power diplomacy, yang bisa diperankan Indonesia dan kelompok beragama untuk menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di dunia.
Diplomasi soft power adalah kemampuan untuk mempengaruhi kelompok-kelompok atau negara dengan mengandalkan kekuatan kerjasama bukan kekerasan atau kekuatan militer. Soft power juga didefinisikan sebagai pengaruh tidak langsung atau tidak berwujud; seperti halnya budaya, nilai, dan ideologi. Diplomasi publik, sebagai bagian dari soft power, merupakan alat vital untuk mempromosikan soft power suatu negara.
Dengan demikian, isu agama dapat diakui sebagai salah satu bentuk soft power; menciptakan istilah baru bernama : diplomasi agam!

Fenomena agama di satu sisi seringkali menimbulkan konflik, namun di sisi lain memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi kekuatan yang membangun dan menjaga perdamaian.

Sementara itu, peran Nahdatul Ulama dalam konteks kehidupan beragama dan konstelasi global sangat unik. Sebelumnya, bersama Kementrian Agama, NU telah menggelar AICIS – Annual International Conference on Islamic Studies, 8-20 Oktober 2022 yang diselenggarakan di dua tempat, yakni Lombok dan Bali sebagai kegiatan menyambut G20. Dan berpartisipasi dalam Asia-European Meeting (ASEM) Interfaith Dialogue, yang menjadi kegiatan Kementrian Luar Negeri dalam upaya menciptakan dialog agama dan budaya Asia-Eropa.

Semua itu tentu sangat baik, karena ditujukan untuk perdamaian, kesejahteraan dan kemajuan bersama. Tetapi mungkin akan lebih paripurna bila melibatkan juga berbagai kelompok agama, khususnya umat islam yang ada di Indonesia. Paling tidak pada tahap persiapan dan inventarisasi materi dan issue . Sebab bagaimanapun dalam berbagai forum dan event itu, yang di wakili adalah seluruh umat beragama Indonesia, dan khususnya umat Islam Indonesia.

Mungkin ini tidak terlihat oleh penyelenggara dan pemerintah Indonesia, bahwa keharmonisan dan kerukunan umat beragama di Indonesia penting untuk dipromosikan ke mata dunia, dan bagaimana tolerannya umat Islam yang mayoritas terhadap kelompok agama lain yang minoritas di Indonesia. Tapi toleransi dan keharmonisan itu sendiri tentunya tidak an sich datang begitu saja. Ada peran dari kelompok agama lain, dan terutama ada komunitas komunitas umat islam di indoesia yang secara bersama membangun keharmonisan dan keselarasan itu.

Harmonisai tidak bisa berjalan hanya bersandar pada kesadaran satu atau beberapa kelompok. Harmonisasi hanya tercipta bila terdapat kesadaran dari semua kelompok yang ada. Bila selama ini terdapat keselarasan dan harmonisasi, maka itu adalah bukti adanya peran dan konstribusi dari semua kelompok keagamaan yang ada, bukan satu kelompok saja. Dan untuk itu dibutuhkan kesepahaman.

Kesepahaman ini pula yang tidak terlihat dari foum R20 ini. kesepahaman penting, paling tidak untuk mengatakan bahwa tidak ada aspek kemanusiaan yang berbeda antara satu agama dengan agama yang lain atau bahkan antar kelompok agama yang sama. Kemudian kesepahaman itu dibutuhkan karena berbagai kelompok agama mengalami begitu banyak segregasi yang menguat, yang disebabkan oleh perubahan sosial di sekitar, konstelasi politik, pertumbuhan ekonomi juga menguatnya peran teknologi dan teknokrasi.

Dari komunike yang disepakati juga tampak para peserta forum tidak melihat hal-hal konkrit yang ada saat ini. Komunike tidak menyentuh hal yang paling mendasar dari fenomena konflik saat ini, yaitu penindasan yang dialami umat islam di Myanmar, India, atau upaya pembersihn etnis terhadap muslim Uighur.

Komunike “hanya” berisi wacana-wacana dan pemikiran-pemikiran yang jauh mengambang di atas. Sehingga Forum R20 lebih terlihat seperti forum elit, tanpa langkah kongkrit. Misalnya, bagaimana pertanggung jawaban kasus-kasus penghancuran dan pembersihan situs-situs keagamaan Islam di Yerusalem oleh Pemerntah Israel. Tak ada satupun pembicara yang berani menyentuh wilayah itu. Tokoh Yahudi yang hadir, Direktur Beit Midrash for Judaism and Humanity, Rabbi Yaakov, juga sama sekali tak menyentuh penindasan yang diterima umat Islam Palestina.

RSS Ram Madhav, tokoh dan pemimpin Hindu India yang ikut hadir juga sama sekali tak menyentuh, atau setidaknya meminta maaf, terhadap maraknya penindasan yang dilakukan oleh kelompok Hindutsva (Hindu Ekstrim) terhdap muslim India. Bahkan, HE. Syekh Dr. Shawki Ibrahim Abdel-Karim Alam, Grand Mufti Mesir, hanya mendesak peserta R20 untuk membantu mereformasi wacana keagamaan “yang telah tercemar oleh ekstremis”, yaang tentunya lebih mengarah ke kelompok “muslim ekstrim.”
Sebaliknya, ketika gilirannya untuk berbicara, Yang Mulia, Uskup Agung Henry Ndukuba, Primata Gereja Anglikan Nigeria dengan 25 juta jamaah reguler mengemukakan serangan oleh ekstremis Islam dari Boko Haram, ISIL, Al Qaeda dan militan radikal dari Penggembala Fulani.

Dengan kata lain, forum R20 dengan komunikenya, lebih terlihat untuk membangun kesepahaman dalam rangka perdamaian dan harominasi kedepan, unutk masa depan umat manusia. Terutama ditujukan pada kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrim. Dan memaksa kita semua, terutama umat Islam untuk melupakan penindasan, penjarahan, pembersihan etnis dan penghilangan situs keagamaan Islam, tanpa harus ada tuntutan untuk pemulihan dan penyelesaian yang memadai. Inilah ironi dari Religion 20 Summit yang tidak terlihat.

Bagaimanapun kita semua harus memandang secara positif, bahwa forum R20 ini hanya sebuah langkah awal. Harapan pasti ada, Diplomasi soft power yang sedang dibangun diharapkan dapat membantu korban-korban penindasan atau bahkan islamophobia yang marak di Eropa. Forum seperti ini diharapkan jadi solusi, bukan malah menjadi ajang untuk kemudian memaksa umat Islam melupakan situs-situs penting keagamaan nya, bahkan nilai-nilai ajarannya. Wallahu’alam Bishawab.

Oleh : Drs. MUHAMMAD YAMIN, M.H.
(Ketua Majelis Syuro DPP GPI, Sekretaris Dewan Kehormatan PP PERSIS)


Next Post

Karya Bhakti TNI, Koramil 14 Panongan Bantu Bangu Mushola

Kam Nov 17 , 2022
Tangerang – Kemanunggalan TNI dengan rakyat diantaranya diwujudkan dalam Karya Bakti TNI, Kodim 0510/Trs melalui Koramil 14/Panongan, karya bakti kali […]