Ustaz Ahmad dan Ibu Iwang, Masih Berdakwah Di Usia Senja


Korantangerang.com – Sang jejaka itu ganteng, naik sepeda, sedangkan sang gadis, cantik, naik delman. Mereka bertemu di Jalan Kalipah Apo, Kota Kembang (Bandung, Jawa Barat), persisnya di tempat pengajian yang kini jadi asrama putri.

Jantung berdetak kencang setiap kali bertemu?. Ya! Mereka mengakuinya kemudian, ketika suatu hari berbincang santai, di kediamannya, Senin kemarin (31/08/20).

Mereka Santriwan dan santriwati.Sang jejaka langsung belajar dari Ustaz Abdullah melalui kursus mubalig “Tamhidul Mubalighin”, sedangkan sang gadis belajar dari Ustaz Abdurrahman di Pesantren Persis 01 Pajagalan.

Itu awal tahun 1950-an ketika Kota Kembang masih lengang dan tentu belum seramai dan sepadat sekarang. Paris van Java jadi tempat kali pertama mereka belajar Islam secara serius dan ini tak terlupakan hingga kini.

Kota Kembang jadi tempat ketika cinta bersemi di tepi jalan, pada awal tahun 1950. Ada gita cinta santriwan dan santriwati. Tamhidul Muballighin dan Pesantren Persis 01 mempertemukan mereka jadi jodoh sampai berusia senja kini.

Dari pernikahan penunggang sepeda dan penumpang delman itu lahir “buah cinta”, delapan orang (tiga orang sudah meninggal dunia). Cucu dan cicit cukup untuk satu kampung, 172 orang. Bahkan, mungkin masih akan bertambah.

Jadi Imam, Jadi Juru Dakwah

Ahmad Djunaedi, sang penunggang sepeda itu, dan Wangsih, penumpang delman itu, kini tinggal Bojongherang, Jalan Dr. Muwardi dekat dengan Pesantren Persatuan Islam 04 Cianjur, diusianya yang sama-sama menembus angka 90. Ustaz Ahmad, demikian Ahmad Djunaedi biasa dipanggil, berusia 92 tahun, sedangkan Wangsih, biasa dipanggil Ibu Iwang, berusia 91 tahun.

Mereka terpaut satu tahun. Jodoh mereka awet sampai menembus angka 90, jadi “pengantin baru” lagi ketika anak-anak sudah mandiri semua.

Masih berdebarkah jantung kalau kini bertemu di rumah, saat jadi “pengantin baru” lagi? “Jantung kau berdebar kan?” tanya ustaz Ahmad, sambil mengarahkan pandangan dan seperti berharap jawaban.

“Ya!” kata Ibu Iwang, singkat, lalu mereka tertawa bahagia. Rupanya pertemuan kali pertama mereka di Jalan Kalipah Apo itu hadir kembali, seakan kemarin sore, padahal sudah melewati rentang masa sekian panjangnya, kira-kira 70-an tahun.

Apakah kini Ustaz Ahmad sudah “pensiun”, atau zaman Covid -19 ini kita menyebutnya work from home alias bekerja dari rumah saja ? Oh, masih rutin jadi imam masjid, masih jadi juru dakwah di beberapa tempat pengajian, diantar oleh anak-anaknya, naik motor atau naik mobil.

“Saya sering jadi tukang ojegnya,” kata Ani Rusliani, (anak keempat), guru taman kanak-kanak, yang juga mubaligah di PD Persistri Cianjur ini.

Risalah dan Almanak Islam Ibu Iwang, sejak masih muda, padat dengan aktivitas di pesantren (mengajar dan jadi bendahara) jadi mubaligah, jadi anggota tasykil Persistri juga jadi agen buku dan majalah terbitan Persis, termasuk Iber, Risalah, dan almanak Islam PP Persis. “Ibu jadi agen sejak harga Risalah Rp35,00 sampai kini harganya Rp20.000,” kata Ibu Iwang.

Tampaknya, Risalah perlu memberi perhatian khusus mengingat jadi agen setia majalah ini sejak lama dan mungkin sejak generasi pengasuh terbaru majalah ini belum lahir ke dunia.
Ibu Iwang, tak sekadar menjual Risalah, tetapi mewajibkan setiap anggota Persis berlangganan Risalah. “Majalah Risalah gudang ilmu dan suara resmi Persis,” kata Ibu Iwang.

Satu lagi yang diwajibkannya untuk anggota Persis, ada almanak Islam PP Persis. “Disetiap rumah anggota Persis, dimana pun, harus ada majalah Risalah dan selalu terpasang almanak Islam PP Persis,” kata Ibu Iwang.

“Majalah dan almanak murah, tetapi sangat bernilai ketika jadi salah satu ciri mahabbah (kecintaan) pada jam’iyyah. Pastikan ada Risalah dan almanak Islam di rumah anggota Persis,” pesan Ibu Iwang.

Mengapa Ibu Iwang tak menjual buku-buku terbitan yang lain, padahal banyak, dan bahkan mungkin bisa lebih laris? Jawaban tak terduga, “Kenali dulu guru kita, sebelum mengenal guru yang lain,” pesan Ibu Iwang.

“Bukankah, ketika di Ibtidaiyah, anak-anak diajari akrim ustaadzaka (hormati gurumu!). “Mengenal guru, mempelajari ilmu guru, bersilaturahim kepada guru, itu salah satu bentuk penghormatan kepada guru,”tambah Ibu Iwang. “Mungkin ilmu akan terputus atau bahkan terputus pula berkah, ketika murid tak hormat lagi kepada gurunya atau bahkan menganggap rendah kepada gurunya,” tambahnya.

Pesan dari Kursi Roda

Generasi Ustaz Ahmad dan Ibu Iwang sudah tak ada lagi di lingkungan Persis Cianjur khususnya. Apkah kini mereka merasa kesepian di tengah-tengah jumlah santri pesantren yang semakin banyak, jumlah anggota Persis yang semakin bertambah, dan jumlah cabang Persis yang terus meningkat?. Banggakah mereka berdua? Lagi-lagi, diluar dugaan, Ibu Iwang malah mengaku merasa was-was karena takut kehilangan ruh jihad yang membuat Persis bertenaga dan berwibawa. Sebuah keprihatinan yang wajar dari orang tua.
Untuk semua itu, dari kursi rodanya yang sering dia duduki, Ibu Iwang berpesan agar ruh jihad di kalangan anggota Persis jangan sampai hilang, harus tetap menyala dan dipelihara.

“Dalam berjihad, anggota Persis, guru Persis atau mubalig Persis harus tetap mendahulukan ajrun (pahala), daripada ujratun (upah),”sambung Ustaz Ahmad.

Tetapi pula, Ibu Iwang memelas, sambil kedua bola matanya menatap langit-pangit rumahnya. “Kalau banyak, mengapa anggota Persis yang berlangganan Risalah hanya sedikit?,” Pertanyaan sederhana dari orang tua. Jawabannya tak akan selalu mudah. Harus diurut dari wilayah komitmen awal sebagai konsekuensi jadi anggota Persis.

Ruh Jihadnya Masih Berkilau
Ustaz Ahmad dan Ibu Iwang adalah matahari senja yang dipastikan akan kembali pula ke balik malam. Allah S.W.T. memberi panjang umur kepada mereka, jadi saksi tentang pasang surut jihad Persis Cianjur, dari hari ke hari.

Air mata sebening kristal menetes dari seorang ibu yang berharap ada pemelihara ruh jihad dan sekaligus penerus jihad dari kalangan keluarga. “Tetapi, lebih dulu meninggal dunia,” kata Ibu Iwang, sambil tak kuasa menahan tangis (yang dimaksud adalah Ustaz Haji Dedy Djuwandi Rahman, anak pertama). Adik Almarhum, Ustaz Dani Hamdani (anak keenam) kini terus berdakwah melanjutkan sang kakak.

Sebuah puisi, karya Johan Wolfgang von Goethe, tertulis dalam buku karya K.H.M. Isa Anshary (salah seorang ketua umum PP Persis), “Sudah tenggelam sang surya. Di Barat ia masih berkilau. Kuingin tahu gerangan berapa lama”.
Ustaz Ahmad dan Ibu Iwang adalah sang surya yang ruh jihadnya masih tetap berkilau. Anak-anak muda Persis setempat pantas menyerap “kilauan” semangatnya sebelum mereka berdua pamit meninggalkan senja di usia 92 dan 91, untuk kemudian berbaring di bawah lapisan tanah merah.(Dean Al-Gamereau).


Next Post

Peduli Kesehatan Anggota, Kasrem 081/DSJ Kenalkan Senam Jantung

Sel Okt 27 , 2020
Madiun – Saat ini banyak sekali kasus kematian yang mendadak diakibatkan dari adanya gangguan atau serangan jantung, meskipun di usia […]