Korantangerang.com – Saya diajak kawan lama untuk berkunjung ke Malino Highland Resort (MHR), tempat wisata di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Wilayah ini sudah puluhan tahun menjadi tempat rekreasi keluarga karena udaranya yang dingin dan segar, tapi juga dikenal sebagai tempat perundingan yang mendamaikan Maluku di tahun 2000an. Terletak di ketinggian 1600 meter di atas permukaan laut (DPL)—terendah 1500 meter DPL– sepanjang tahun udaranya sejuk dengan angin yang bertiup kencang. Jaket atau sweater menjadi bawaan wajib bagi mereka yang ingin berjalan-jalan atau menginap.
Di kelurahan Malino ini, ada banyak tempat penginapan juga, tetapi MHR merupakan suatu kawasan terpadu, yang memiliki fasilitas penginapan, taman bunga, kuliner di puncak bukit dengan pemandangan indah, kebun binatang mini, rekreasi berkuda, serta hamparan kebun teh yang sedap dipandang mata. MHR menjadi semacam pusat dari jajaran bukit di sekelilingnya sehingga menjadi magnet warga Sulawesi Selatan untuk dikunjungi khususnya di akhir pekan. Pengunjung keluarga biasanya datang mengendarai mobil sementara muda-muda banyak yang bersepeda motor.
Kesan pertama saat masuk MHR biasa saja, meskipun saat memasuki Malino yang ditandai dengan jajaran pohon pinus dan warung kopi sepanjang jalan, sudah ketahuan ini tujuan wisata yang menarik. Banyak sekali mobil yang di parkir di tepi jalan karena ruang parkir yang ada sudah kepenuhan. Gerbang MHR akan mengarahkan pengunjung ke loket tiket masuk, baru setelah itu terarah di jalan menanjak.
Umumnya mereka yang datang akan bergerak menuju Café, sebuah bangunan berbentuk bundar yang menjadi tempat tertinggi di MHR, 1600 DPL. sebelum sampai di sebelah kiri terbentang kebun teh, totalnya sekitar 87 HA keseluruhan. Tak lama kita sampai di kawasan parkir lalu berjalan, lagi-lagi di antara pohon the yang berjajar rapi. Pesanan favorit di sini selain kopi dan teh adalah jahe untuk menghangatkan tenggoroka. Kudapannya, pisang goreng dan kentang goreng. Ada juga makanan besar kalau mau.
Secara instink saya duduk di teras luar. Ada banyak sekali meja dan kursi tersedia. Memandang ke bawah, kiri, kanan, tengah, tampaklah bebukitan hijau, berbaris-baris. Nuansa warna yang terlihat bergradasi, hijau hutan, hijau pepohonan, ada yang agak coklat karena kering.
Tetapi yang segera terasa adalah tiupan udara segar yang konstan. Ambil udara dari mulut, hirup dalam-dalam, tahan dua-tiga menit. Lalu buang. Paru-paru terasa lapang. Ulang lagi, dan kita seperti merasakan kesegaran yang luar biasa. Di kepala langsung masuk rasa nyaman. Inilah kelebihan MHR bahkan yang membuatnya beda dengan tempat lain. Pengunjung mendapatkan asupan udara yang berfungsi menyehatkan badan.
Tapi baru 10 menit duduk tubuh yang diam mulai merasakan dingin. Tertulis di ponsel, udara mencapai 18 derajat Celsius, khususnya karena angin yang terus menerus bertiup. Untunglah jahe panas sudah datang, badan diimbangin rasa hangat dari tenggorokan. Perut yang terisi kentang goreng, menjadikan tubuh terasa mampu mengimbangi dingin.
Ada puluhan orang melakukan hal sama. Para remaja memanfaatkan waktu dengan berfoto bersama teman atau pacarnya. Orangtua duduk atau berjalan-jalan di antara pohon tehe, ngobrol, atau berfoto. Kalau bergerak, tubuh hangat. Tetapi bila ingin merenung, menikmati keindahan alam, bagus duduk di dalam, ada kaca pelindung yang menahan dingin. Juga nyaman tetap dengan pemandangan yang indah.
Dari Kafe ini, anak-anak bisa bermain kuda, di kawasan tempat parkir. Tetapi ada juga yang langsung turun, melewati jalann berkelok, untuk nanti sampai di kawasan kebun binatang kecil yang disebut Celebes Wildlife. Banyak yang lalu memarkir mobil di tepi jalan, masuk melihat binatang yang sengaja dipelihara untuk diajak bermain walaupun di luar kandang. Terutama burung yang kandangnya puluhan meter.
Kemudian pengunjung dapat melanjutkan ke bawah, menuju bangunan bekas pabrik teh, dijadikan semacam museum. Di sinilah beberapa puluh tahun lalu diproduksi tehe oleh sebuah perusahaan Jepang untuk dijual dan dipasarkan ke seluruh Sulawesi Selatan, namun kini tidak lagi beroperasi. MHR masih membuat teh untuk dikonsumsi sendiri, baik oleh pengelola maupun tamu yang menginap apabila ingin mencicipinya. Di dekat loket tiket ada banyak tempat berfoto karena bunga-bunga yang indah ditanam, dengan rumput hijau yang disukai anak untuk bermain bola, kejar-kejaran dll.
Kalau sempat menginap ada sensasi lebih yang diperoleh. Ketika daerah sekitar gelap, langit yang terbentang menyuguhkan bulan yang terasa dapat dijangkau jangan, dan ratusan bintang yang terang. Mereka yang suka zodiac bisa melihat berbagai rasi bintang yang menghiasi.
Sambil berbaring tapi jangan di jalan karena lalu lintas masih aktif, gabungan antara udara segar dan pemandangan spektakuler memberi kenikmatan luar biasa. Tidak pernah saya menyaksikan suguhan mata seperti ini, entah itu di Jakarta ataupun kawasan wisata seperti Puncak, Cibodas. Luasnya bentangan bukit yang gelap, menciptakan kontras warna hitam dan kilauan bintang.
Lalu mengarah keselatan, ribuan cahaya di kejauhan memperlihatkan kota Makassar yang berjarak sekitart 2 jam perjalanan. Terasa kecil sekali sosok kita ini dibandingkan dengan alam yang begitu luas. Luar biasa.
Harus diingat kalau menginap, bawa sweater, sarung tangan, atau kupluk penutup kepala dan telinga, karena dinginnya udara. Udara normal malam hari mencapai 10 derajat Celsius, lalu mulai tengah malam sampai subuh, 7Celsius. Jelas kita harus menyesuaikan diri.
Bangun pagi lalu jogging, berjalan menyusuri kebuh tehe, menikmati pepohonan dan bunga beraneka warna yang sengaja ditanam, hidup terasa begitu indah dan nyaman. Kalau suka trekking, di sini jugs sedang disiapkan jalur jalan kaki dengan medan menantanh, di antaranya ke air terjun, pepohonan teh dan ada juga pohon kopi meski sedikit. Keruwetan pekerjaan, bisingnya kota yang berpolusi, sementara dapat dikesampingkan. Tubuh sehat, jiwa dipenuhi semangat baru. Oh iya tiket masuk dewasa Rp 50.000 untuk anak-anak separuhnya, di bawah 5 tahun gratis.
Kalau berkesempatan, ayo nikmati hamparan surgawi ini.(*/siberindo.co).