Korantangerang.com – Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Tangsel masih yang tertinggi di Banten, data Badan Pusat Statistik Banten, tahun 2016 LPP Tangsel 3,28%, sementara rata-rata LPP Banten 2,07%. Kota yang hanya memiliki luas 147,19
kilometer persegi atau 1,63 persen dari luas wilayah Provinsi Banten itu dihuni oleh 1.593.812 dengan kepadatan penduduk 10.828,26 tiap kilometer persegi.
Sejak berdiri, jumlah penduduk Tangsel terus bertambah seiring dengan pesatnya perkembangan kota, terutama industri properti. Tahun 2012, jumlah penduduk Tangsel sebanyak 1.394.405 jiwa, kemudian bertambah menjadi 1.492.999 jiwa ditahun 2013, 1.543.209 jiwa (2014), 1.593.812 jiwa (2015), 1.593.812 jiwa (2016). T
Terus bertambahnya jumlah penduduk Tangsel tersebut tentunya menjadi pekerjaan rumah (PR) Wali Kota Tangsel, Airin Rachmy Diani untuk membuat skema kebijakan mengendalikannya.
Meski demikian, meningkatnya jumlah penduduk Tangsel menurut Ade Anwar, Kepala Sub Direktorat Mekanisme Operasional Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bukan semata-mata karena faktor fertilitas (kelahiran), melainkan karena letak geografis Tangsel yang strategis yang berbatasan langsung dengan wilayah DKI Jakarta, sehingga kota ini menjadi tujuan migrasi penduduk di Indonesia.
“Kalau dari segi total fertility rate atau angka kelahiran kasar, Tangsel sejajar dengan Kabupaten atau Kota di Provinsi Banten,” ujarnya kepada awak media usai menjadi narasumber sosialisasi Integrasi Kampung Keluarga Berencana (KB) yang dihelat BKKBN di Kelurahan Jelupang, Kecamatan Serpong Utara, Sabtu (30/12/2017).
Namun, lanjut Ade, tingginya laju pertumbuhan penduduk tersebut tetap saja menjadi masalah cukup serius bagi Pemkot Tangsel. Ia berharap perangkat organisasi daerah lintas sektor di Kota Tangsel untuk saling bersinergi dalam mengatasi persoalan yang muncul karena masalah kependudukan untuk keberhasilan program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) yang digaungkan oleh BKKBN.
“Kampung KB itu tujuan utamanya meningkatkan keluarga menjadi lebih berkualitas,” tambahnya.
Dijelaskannya, pentingnya snergitas lintas sektor terkait itu karena Kampung KB bukan semata-mata menyangkut hanya soal KB, namun juga ada aspek lainnya terkait pemenuhan delapan fungsi keluarga diantaranya fungsi agama, sosial dan budaya, cinta dan kasih sayang, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan fungsi lingkungan. Kedelapan fungsi keluarga itu tidak mungkin dapat dikerjakan hanya oleh BKKBN, melainkan perlu dukungan program lintas sektor sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) sektor terkait tersebut.
Ade mencontohkan untuk fungsi agama sektor terkait adalah Kantor Kementrian Agama di Tangsel, begitu juga untuk fungsi sosialisasi dan pendidikan sangat erat kaitannya dengan Dinas Pendidikan.
“Jadi ada intervensi-intervensi program dari lintas sektor terhadap Kampung KB, hanya namanya saja Kampung KB, namun garapan programnya harus lintas sektor,” terangnya.
Kampung KB yang dicanangkan Presiden Joko Widodo 2016 yang lalu itu pun rencananya akan diperluas cakupan wilayahnya yang awalnya hanya setingkat dusun di satu desa atau kelurahan pada satu kecamatan, pada periode berikutnya akan dinaikkan levelnya setingkat kelurahan atau desa.
“Dalam waktu dekat kita akan luncurkan Instruksi Presiden tentang Operasionalisasi Kampung KB,” imbuhnya.
Selain itu, kata dia, ditahun 2018, pemerintah pusat akan menggelontorkan biaya operasional untuk tiap-tiap Kampung KB yang telah dicanangkan ditiap-tiap Kecamatan, dimana saat ini terdapat satu Kampung KB untuk tiap Kecamatan di Indonesia. Besarnya biaya operasionalnya tersebut terbagi dalam tiga kriteria, yakni Rp80 juta untuk Kampung KB diwilayah pekkotaan, Rp90 juta untuk Kampung KB yang berlokasi di daerah tertinggal perbatasan dan kumuh (DTPK) dan Rp100 juta untuk Kampung KB yang berada di daerah DTPK)
“Anggaran ini usulan kita, mekanisme penyaluranya melalui dana alokasi khusus,” tukasnya.(Mulyadi)