(Menyambut Pengurus Baru PWI Provinsi Banten 2024 – 2029)
Banten – Ketika Anda menyaksikan kecelakaan lalu lintas, lalu Anda misalnya melaporkan kesaksikan Anda itu ke sebuah stasiun radio secara langsung, dan disiarkan, maka Anda sudah menjalankan tugas wartawan. Inilah yang kemudian disebut citizen journalism, atau biasa diterjemahkan dengan jurnalime warga.
Ada syarat tertentu untuk pekerjaan citizen journalism? Tak ada, kecuali keterpanggilan. Anda menyediakan waktu, menghabiskan pulsa pula, tetapi pasti Anda tak merasa rugi, bahkan misalnya justru merasa berbahagia karena sudah berbagai informasi kepada warga yang lain melalui laporan.
“Wartawan” Citizen journalism tak dibayar, tapi pasti sangat dihargai pihak stasiun radio yang menerima laporan Anda. “Wartawan” citizen journalism bisa siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan tak perlu mengikuti dulu uji kompetensi watawan (UKW) seperti yang dilakukan wartawan.
Banyak media massa (cetak dan elektronik) yang menyediakan kaveling atau teras acara untuk “wartawan” citizen journalism. Ini dibayar. Keterpanggilan Anda dihargai dengan uang karena memang sudah dijanjikan media massa sebelumnya.
Lalu, wartawan itu a profession (sebuah profesi) atau a calling in life (sebuah panggilan hidup)? Pertanyaan lain yang senada, dilontarkan Anja Bardey, seorang wartawan lepas, tinggal di Essen (Jerman), dalam Online-Redaktion Goethe Institut : Apakah wartawan itu an occupation (sebuah jabatan) atau a vocation (sebuah lapangan kerja)?
Robert Peerbom (1970 : 134) dalam bukunya Het Dagblad, yang diterjemahkan oleh Rochady, ketika memerinci syarat jadi wartawan, maka salah satunya adalah harus sebagai panggilan hidup, alias sebagai a calling in life itu.
Ketika Anda menjadi “wartawan” cirtizen jurnalism seperti di atas, yang melaporkan kecelakaan lalu lintas ke stasiun radio, maka jelas itu calling life alias panggilan hidup. Bahasa agamanya, infak informasi.
Anda berbahagia sudah melakukan infak informai itu. Orang yang berbahagia dengan amal baiknya seperti itu, maka inilah salah satu ciri orang mukmin – seperti bunyi hadis dari Abu Umamah yang dicatat Ahmad, Al-Hakim, dan Ath-Thabrani. Derajat hadisnya, menurut pakar hadis Al-Albani, sahih.
Ketika Anda bekerja penuh waktu jadi wartawan, dan Anda bekerja untuk mendapat upah, maka itulah wartawan sebagai profesi. Wartawan inilah yang sekarang dituntut melengkapi persyaratan, seperti kartu identitas dari media massa tempat yang bersangkutan bekerja (ID card media masa), kartu anggota organisasi wartawan, misalnya, kartu anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan kartu yang diterbitkan Dewan Pers setelah lulus uji kompetensi wartawan (UKW), dengan kategori muda, madoa, dan utama.
Maka, inilah satu-satunya makhluk yang wajib sekaligus memiliki tiga kartu identitas secara integratif akumulatif – kalau memang mau disebut wartawan yang berkompeten : kartu pers dari media massa, kartu anggota organisasi wartawan, dan kartu (kompetensi) Dewan Pers. Teramat banyak? Ya, kabarnya, nanti akan disederhanakan, jadi identitas tunggal saja.
Ada lagi kartu identitas wartawan yang lain, yakni kartu pers nomor satu (press card number one), yang diperoleh wartawan berpengalaman dengan prestasi tertentu. Tak mudah memperoleh kartu pers ini.
Banyak media massa (cetak dan elektronik) yang membuka lowongan pekerjaan untuk wartawan, alias menempatkan wartawan sebagai vocation. Ya, dalam iklan mesti disebutkan sebagai lowongan pekerjaan, untuk lebih mudah dipahami. Tentu saja tak elok kalau iklannya disebut demikian : dibuka lowongan kerja panggilan hidup.
Seorang wartawan, Djudjuk Juyoto, menulis buku dengan judul Jurnalistik Praktis Sarana Penggerak Lapangan Kerja Raksasa (Yogyakarta, 1985). Dalam pengantar buku, Dick Hartoko menjelaskan bahwa lapangan kerja raksasa yang dimaksud Djudjuk adalah lapangan kerja idiil, lapangan kerja untuk membina kerukunan, membina komunitas. (Hal. 9).
Kalau ke-wartawan-an itu memang sebuah lapangan pekerjaan, tetapi tentu saja tak sama dengan lapangan pekerjaan tukang sepatu, tukang jahit pakaian, atau tukang pangkas rambut yang selalu mengikuti keinginan pemesan. Atau, wartawan tak sama dengan pemain sinetron yang harus selalu mengikuti perintah sutradara, dan harus selalu menyenangkan khalayak penonton.
Seorang pendiri Depthnews, Juan L. Mercado (Filipina), mengingatkan bahwa tugas wartawan adalah menulis untuk mengungkapkan kepada pembaca, bukan menulis untuk memengaruhi pembaca (1987 : 144). Tugas wartawan menurut “mbahnya” wartawan Indonesia, H. Rosihan Anwar (Allaahu Yarham), untuk menyenangkan yang sedang terpukul dan untuk memukul yang sedang kesenangan.
Dean Al-Gamereau (Menyambut Pengurus Baru PWI Provinsi Banten 2024 – 2029)