Korantangerang.com – Mulanya membaca Max Havelaar, Novel berbahasa Belanda, dibacanya dengan penuh semangat, tanpa putus, dan tamat dalam tempo dua hari. Padahal, buku yang berlatar belakang Kabupaten Lebak (Provinsi Banten) ini terhitung tebal.
Novel karya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli itu bercerita tentang penjajahan Belanda di belahan tanah Banten ini, novel inilah yang kemudian mendorongnya ingin jadi pengarang. Minat terhadap sastra pun semakin tumbuh.
Dia masih kelas dua SMP saat menamatkan Max Havelaar yang diperoleh di rumah kakaknya. Sitor Situmorang, kemudian memang jadi sastrawan terkemuka, salah seorang sastrawan Angkatan 45.
Banyak sekali karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain, Kertas Hijau (1955), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Jalan Mutiara (1954), Pertempuran dan Salju di Paris (1956) dan lain-lain. Sitor meninggal dunia di Apeldoom (Belanda), 21 Desember 2014, dalam usia 91 tahun.
Perdebatan Puisi Sitor
Dari seluruh karya sastrawan Angkatan 45 ini, puisi pendek yang berjudul “Malam Lebaran” paling banyak diperbincangkan dan diperdebatkan. Bukan karena puisi itu pendek sekali, dan mungkin puisi terpendek di dunia, melainkan karena teksnya yang bertentangan dengan logika (ilmu alam).
Judul puisi itu, “Malam Lebaran”, satu baris. Isi puisinya, satu baris pula, Bulan diatas kuburan. Malam lebaran adalah satu hal. Bulan diatas kuburan adalah hal yang lain.
Ketika judul dan isi puisi itu dihubungkan, maka akan terjadilah kontradiksi makna. Malam lebaran, yang dimaksudkan adalah lebaran Idul Fitri, dipastikan pada tanggal 1 Syawal dalam perhitungan tahun hijriyah (kalender Islam). Dalam perhitungan tahun hijriyah, pergantian hari atau tanggal terjadi setelah matahari terbenam (waktu magrib).
Ini berbeda dengan pergantian hari atau tanggal dalam tahun Masehi, yakni pada dini hari (pukul 00.00). Maka, pada malam lebaran itu, dipastikan sudah memasuki tanggal 1 Syawal.
Kemudian muncul pertanyaan, mungkinkah bulan sudah muncul pada malam Lebaran, pada tanggal 1 Syawal?. Tentu saja, mustahil. Bulan belum terlihat pada tanggal 1 Syawal, dan oleh karena itu, harus ada rukyat (mengamati bulan, bahkan dengan bantuan teknologi) ketika umat Islam mau melaksanakan ibadah saum Ramadan atau salat Idul Fitri. Bulan pada awal bulan disebut hilal.
Bulan baru tampak jelas terlihat sepenuhnya dalam bulatan yang putih bersih, yang kita sebut bulan pernama, pada tengah bulan, tanggal 13, 14 dan 15. Fikih Islam menyebutnya sebagai hari-hari yang putih (ayyaamu ‘l-baydl). Pada saat ini, umat Islam dianjurkan (disunnahkan) untuk melakukan saum (puasa).
Dengan demikian, Malam Lebaran dan bulan diatas kuburan tak bisa dikompromikan dari sudut bahasa. Banyak sastrawan yang memakluminya. Kalau judulnya, “Malam 14 Bulan Hiriyah”, maka logis diikuti dengan bulan di atas kuburan.
Oleh karena Sitor bukan seorang muslim, maka dianggap wajar kalau tak memahami seluk-beluk malam lebaran yang dikaitkan dengan munculnya bulan sabit sebagai tanda awal bulan.
Tetapi, tentu saja, Sitor bukan orang bodoh, Sebagai sastrawan, Sitor justru mengenyampingkan logika. Sitor sebetulnya ingin mengangkat simbolisasi, tak sekadar tata bahasa atau gramatika.
Tafsir Teks : Hitam dan Putih Puisi “Malam Lebaran” harus ditafsirkan, bukan harus ditinjau dari susunan bahasa. Oleh karena itu, muncullah penafsir-penafsir puisi “Malam Lebaran” itu, sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Sitor mengungkapkan, bahwa pada malam lebaran, dia berkunjung ke rumah sahabatnya, Pramoedya Ananta Tur. Tetapi tak ada, kecewa lalu pulang dan tersesat.
Ternyata, ada tembok putih di hadapannya. Sitor penasaran ingin melihat ada apa di balik tembok putih itu. Ternyata, ada kuburan. Dari situlah lahir inspirasi puisi yang kemudian diberi judul “Malam Lebaran”, dengan isi puisinya, bulan di atas kuburan.
Sitor mengetahui banyak yang meengkritik puisinya itu, disamping banyak pula yang memujinya karena sudah berhasil menciptakan puisi yang penuh simbol, penuh tanya dan ruang tafsir pun terbuka.
Sesungguhnya dengan puisi itu, Sitor ingin mengungkapkan kesedihan karena tak bertemu dengan teman yang dijumpainya, Pramoedya. Tembok putih yang dijumpainya adalah bulan putih lambang kegembiraan atau kebahagiaan. Kuburan adalah lambang kesedihan.
Kehidupan ini diliputi kebahagiaan dan kesedihan, perjalanan hidup selalu berpasangan, ada suka, ada duka. Ada sengsara, ada nikmat, ada sengsara membawa nikmat. Dalam hidup ini, ada hitam ada putih. Persis, seperti ada siang, ada malam.
Tafsir Film : Kawan dan Lawan
Lebih dari itu, puisi “Malam Lebaran” diangkat pula ke layar lebar, jadi sebuah film. Judulnya, “Bulan di Atas Kuburan”. Film ini sekaligus pula sebagai tafsir atas puisi itu. Film ini bukan film horor melainkan film kritik sosial. Film horror, seringkali menyertakan kuburan.
Kita ambil bagian dialog dari film ini, yang merupakan tafsir atas puisi “Malam Lebaran”. Simak dialognya, “Di Jakarta ini, harus hidup berkawan. Kalau kau bukan kawan, kau pasti lawan.” Sepenggal dialog dalam film di atas, adalah “putih” (kawan) dan hitam (lawan)” persis seperti diajarkan makna terselubung puisi “bulan (putih) di atas kuburan (hitam).
Penafsir yang lain bisa membenarkan puisi Sitor itu, jadi masuk akal kalau kunjungan Sitor ke rumah temannya itu, pada pekan kedua bulan Syawal, alias dua pekan setelah Iebaran tanggal 1 Syawal.
Selama dua pekan setelah lebaran, masih terhitung suasana lebaran.
Maka, kalau Sitor berkunjung pada pekan kedua itu, tanggal 13, 14, atau 15 Syawal, memang bulan dipastikan ada, kalau cuaca malam cukup cerah. Tetapi, tak ada yang menginformasikan, kapan persisnya Sitor berkunjung ke rumah Pram.
Kritik Sitor
Sesungguhnya, Sitor disebut-sebut mengkritik cara berlebaran bangsa Indonesia. Lebaran itu sebagai tanda berakhirnya saum Ramadan dan harus berpisah dengan Ramadan. Seharusnya, sedih, karena Ramadan bulan penuh pahala. Tetapi dalam kenyataannya, menjelang akhir Ramadan, banyak terjadi foya-foya. Hari lebaran jadi hari pesta, bukasn hari raya yang disyukuri.
Selama 10 hari Ramadan terakhir, semestinya justru umat Islam mengurung diri di masjid, total beribadah dalam i’tikaf. Umat Islam seakan memutuskan hubungannya dengan segala sesuatu yang berbau duniawi. Di dalam masjid, terus beribadah : doa, salat, dan membaca Alquran. Kalau ibadah i’tikaf ini diamalkan secara masif, niscaya akan mengubah total suasana hari-hari terakhir Ramadan.
Kenyataannya, memang, justru 10 hari terakhir Ramadan itu suasana jadi semakin sibuk dengan urusan duniawi. Kadang-kadang, stabilitas ekonomi terganggu dengan kenaikan harga-harga barang tertentu yang tak terkendali.
Mestinya, suasana akhir Ramadan harus seakan jadi “kuburan”, karena semua orang muslim masuk masjid untuk menemukan laylatul-qadar.
Akhirnya, Sitor Situmotang dengan keahliannya berpuisi, berhasil membuka ruang wacana penafsiran teks puisi, terutama puisi yang berjudul “Malam Lebaran”. Puisi ini secara logika pengetahuan alam tak masuk akal, mustahil terjadi, tetapi makna di balik teks atau puisi itu adalah realitas di tengah-tengah masyarakat, hidup berpasang-pasangan, ada suka ada duka, ada siang ada malam, ada hitam ada putih.
Bagian terakhir inilah yang kemudian dikedepankan, karena puisi tak selalu harus dinikmati dari permukaan teks, tetapi juga dari balik teks-teks itu.
Seorang filosof Francis, yang juga pakar tafsir teks, (Hermeneutika), Paul Ricoeur (meninggal, 20 Mei 2005) menyebut pemahaman di balik teks itu sebagai level eksistensial, level pemahaman mendalam. (Dean Al-Gamereau)