Calon ketua umum PERSIS 2022 – 2027, tampaknya, lebih “seksi” diwacanakan daripada qanun asasi/qanun dakhili (QA/QD), program jihad, dan rekomendasi/bayan. Padahal, ketiga-tiganya penting, dan dipilah jadi “klaster” Komisi A (QA/QD), Komisi B (program jihad), dan Komisi C (rekomendasi/bayan).
Ketiga “klaster” itu kemudian jadi “satu rumah” PERSIS. Saya membaca sebuah flyer elektronik di media sosial, berisi foto empat calon ketua umum PERSIS, dalam Grup WA Majelis Mubahatsah, terdiri dari (ditulis sebagaimana pada flyer elektronik) : 1. K.H. ACENG ZAKARIA, 2. KH. DR. JEJE JAENUDIN, M.PD., 3. KH IMAN SETIAWAN LATIEF, SH. 4. PROF. H. ATIF LATIFUL HAYAT, SH, LLM, PHD. Siapa yang mengangkat mereka jadi calon ketua umum PERSIS? Tampaknya, Flyer itu sendiri! Pesannya, inilah para calon yang pantas dipilih jadi ketua umum.
Keempat wacana itu boleh dibaca dengan teori kritis (huruf /t/ dan huruf /k/ kecil), boleh pula dibaca dengan Teori Kritis (huruf /T/ dan huruf /K/ kapital). Bedanya? Pembaca Teori Kritis (Critical Theory) akan menemukan korelasi dengan pemikiran Karl Heinrich Marx, meski kemudian, pemikiran si Brewok asal Jerman ini ditinggalkan Neo-Marxisme penerusnya. Tentang teori kritis (critical theory) – dan ini yang mungkin paling umum diamalkan – didefinisikan sebagai semua pemikiran yang bersifat kritis terhadap ilmu pengetahuan dan budaya, seperti kritis terhadap pandangan Positivisme (Lubis, 2015 : 2).
Atau, bedah pula keempat wacana itu dengan Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis) Norman Fairclough, meliputi analisis teks (mikro), analisis produksi teks (meso), dan analisis konteks di luar teks (makro). Ketiga-tiganya bertalian satu sama lain, yang kemudian akan membawa kita pada pemahaman wacana, dan bahkan bisa ”membongkar” kepentingan yang ada di balik wacana itu.
Cobalah kita telaah keempat wacana itu! Bagaimana diksi dan gaya bahasa untuk keempat calon ketua umum itu disusun? Bahasa, tentu tak netral, mesti ada muatan kepentingan, termasuk muatan ideologi.
Ada yang berpikir teori kritis (critical theory) untuk keempat wacana calon ketua umum PERSIS itu? Ada, dan saya mau menelisik isi WA Prof. Dr. Dadan Wildan Anas, M.Hum. Perkara yang dikritisinya, foto, teks, tata bahasa, penulisan gelar, warna, atau tata letak? Bukan, ternyata gelar keagamaan, karena nomor 4 (PROF. H. ATIF LATIFUL HAYAT, SH, L.LM, PHD) tanpa gelar kiai, padahal dia sudah terhitung kiai (ulama). Calon ketua umum yang lain dilabeli gelar kiai. Nomor 4, tidak! Begini komentar Prof. Wildan di Grup WA itu, “No.3 make kiai. No.4 henteu. Gelo ieu nu nyieun flyer”. Saya yakin, pembaca WA dan pembuat flyer pun tertawa. Saya pun tertawa.
Saya baca dalam WA Grup Majelis Mubahatsah itu, wacana kedua profesor ini tak pernah serius, mereka saling meledek, saling mengejek, saling menyindir, saling menjatuhkan, dan tak pernah saling memuji.
Saya membaca di balik teks, di balik wacana mereka : full heureuy. Orang yang tak tahu, mesti saja menganggap mereka berdua Tom and Jerry. Perkara yang serius hanya satu : profesor yang satu mendukung profesor yang lain jadi ketua umum PERSIS.
Saya menelisik wacana keempat calon ketua umum PERSIS ini. Wacana yang dimaksud di sini bukan wacana yang biasa dipahami sehari-hari, melainkan wacana dalam perspektif Critical Disvourse Analysis (Analisis Wacana kritis). Dalam perspektif ini, foto keempat calon ketua umum termasuk wacana. Pilihan foto, pilihan warna, desain flyer, tata letak, dan penempatan nomor urut pun, dalam hal ini, disebut wacana.
Saya melihat dari sudut pandang Critical Discourse Analysis Norman Fairclough. Untuk tingkat analisis teks, tertulis memang PROF. ATIF LATIFUL HAYAT, SH, LLM, PHD. Gelar akademiknya lengkap, sama dengan gelar calon ketua umum yang lain. Tingkat analisis produksi teks, tanpa gelar kiai. Alasan tak mencantumkannya bisa diidentifikasi : karena sengaja, tidak tahu, lalai, kesalahan di tingkat produksi, atau yang lain? Semua perlu dikonfirmasikan kepada pembuat teks (wacana). Tingkat analisis konteks di luar teks, tanpa gelar kiai itu jadi masalah serius karena berhubungan dengan salah satu syarat calon ketua umum, yakni ulamam sebagaimana bunyi Huruf c, Ayat (4), Pasal 80, Bab X, Qanun Dakhili PERSIS 2015 – 2020.
Pembuat teks tanpa gelar kiai bisa ditafsirkan sedang menyiratkan pesan : dari empat calon ketua umum itu hakikatnya tanpa PROF. DR. ATIF LATIFUIL HAYAT, SH, LLM, PHD., karena kurang syarat formal, yakni ulama (kiai). Oleh karena tanpa konfirmasi kepada pembuat teks (wacana), saya anggap lupa tanpa mencantumkan gelar kiai. Tetapi, lupa atau tidak lupa, ketika wacana itu sudah beredar, lalu jadi milik publik, maka mereka berhak menafsirkannya. Begitu kata orang Hermeneutika.
Protes atau koreksi Prof. Wildan itu wujud dukungan kepada batur “heureuyna” di Grup WA Majelis Mubahatsah? Persis! Di luar produksi teks (wacana) itu, kita bisa temukan wacana lain (bandungraya.net, Kamis, 8 September 2022. 9.40 am), dibawah judul “Mencari Figur Ketua Umum Persis”. Prof. Wildan menulis di situ.
”Saya berpandangan, Prof. Atip yang relatif lebih muda dari Ustad Aceng, lebih tepat memimpin era baru Persis”. Ini pasti serius, bukan heureuy untuk sahabat akrabnya itu.
Tetapi, wacana ini tak berdiri sendiri. Prof. Wildan dengan santun memangkas tulisannya, “Akhirnya, tentu di tangan muktamirinlah, masa depan Persis berada”. Kata Prof. Wildan lagi, “Siapapun yang terpilih, akan mengemban amanah dan tanggung jawab…”.(idem). Seorang demokrat yang tulus.
Pegiat Grup WA Majelis Mubahatsah yang lain, Muhamamd Nurdin, protes pula atas perubahan nomor urut PROF. DR. H. ATIF LATIFUL HAYAT, SH, LLM, PHD, dari nomor urut 3 jadi nomor urut 4. Bunyi WA-nya, “Prof. Atif asal na urutan katilu di robih jadi ke 4 teu beres pisan”. Nomor urut bermasalah? Mungkin tidak, tetapi berpengaruh.
Alhasil, keempat calon ketua umum yang dipajang di flyer elektonik itu, dan beredar luas di media sosial khususnya, menunjukkan adanya freedom of opinion (kebebasan berpendapat) dan freedom of expression (kebebasan mengungkapkan pikiran dan perasaan) di lingkungan PERSIS. Panitia tak melarang, hanya menegaskan, flyer bukan dari Panitia. Di grup WA kita, tak ada flyer hinaan atau hujatan, seperti banyak flyer di ibu kota sana, saat aksi demonstarsi kenaikan harga BBM – yang kemudian disebut black September.
Lalu, normalkah kalau para ulama yang rendah hati itu mau diserahi amanah jadi ketua umum? Termasuk Prof. Wildan, in syaa Allah, mau, dan normal. Perkara yang tak normal, kalau di antara para ulama calon ketua umum itu ada yang mau jadi rasulullah. (Dean Al-Gamereau.Anggota PERSIS, warga negara biasa, yang sudah terbiasa dengan keadaan biasa-biasa saja, tinggal di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten).(Cr Nurdin).