Indonesia Menuju Merdeka Belajar


Jakarta – “Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia karena dengan pendidikan, anda dapat mengubah dunia”. Kutipan ucapan Nelson Mandela ini memberikan gambaran besar betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan suatu bangsa karena dari pendidikan bermutulah, sebuah generasi penerus berkualitas akan lahir.

Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat terbanyak di dunia setelah Tiongkok (1,42 miliar jiwa), India (1,37 miliar jiwa), dan Amerika Serikat (328 juta jiwa) telah melakukan berbagai transformasi sistem pendidikan guna meningkatkan hard skill dan soft skill masyarakat.

Memang tak dapat dipungkiri, mayoritas masyarakat Indonesia memasukan anaknya ke lembaga pendidikan dan mendorong mereka untuk mendapat nilai cemerlang pada setiap mata pelajaran, semata-mata sebagai tolak ukur kecerdasan yang nantinya berubah menjadi tolak ukur mendapatkan pekerjaan yang bergaji tinggi.

Jika nilai mata pelajaran anak memuaskan dan masuk dalam jajaran siswa dengan ranking 5 besar di kelasnya, maka anak langsung di cap cerdas oleh orang tua, guru, teman-teman dan lingkungan.

Nilai dan ranking seakan menjadi harga diri anak sehingga tak jarang orang tua membandingkan anaknya sendiri dengan anak orang lain yang lebih pandang alih-alih sebagai motivasi dan contoh bagi anak supaya teracu mendapat nilai baik, padahal perilaku seperti ini menjadi bibit buruk bagi perkembangan psikologis anak.

Pola pikir nilai mata pelajaran sebagai bukti kecerdasan anak yang melekat pada sebagian besar orang tua Indonesia ini kerap kali menjadi isu yang dibawa media massa. Media massa kerap kali menggembar-gemborkan nilai bagus dapat pekerjaan bagus, nilai bagus dapat beasiswa dan kesempatan kerja di perusahaan internasional, pemenang olimpiade matematika, fisika dapat jalur khusus melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi dan sejumlah uang dalam jumlah besar, dan sebagainya pada judul artikel maupun konten berita.

Memunculkan konten seperti ini memang boleh saja sesuai fakta, namun perlu disisipkan juga bahwa kecerdasan matematis itu terjadi karena anak juga belajar mengembangkan soft skill disiplin belajar, kerja keras mengerjakan soal-soal latihan, diskusi dengan teman-teman dan guru, dan lain sebagainya.

Ada beberapa media juga yang memang memunculkan kecakapan soft skill sebagai sebuah presetasi, namun porsinya masih sedikit.
Nilai matematika dan fisika yang baik karena berhasil menghafal rumus memang penting dalam proses pendidikan, tapi membangun karakter yang baik juga penting.

Apalah artinya anak cerdas dalam segala mata pelajaran namun tak menghormati orang tua, cepat putus asa, minder, tidak mampu berkomunikasi yang dengan baik, egois, dan lain sebagainya sedangkan mereka nantinya akan berinteraksi dengan berbagai kalangan yang karakter dan pola komunikasinya tidak bisa dihitung secara matematis.

Anak akan kelabakan berada pada situasi ini nantinya karena ada banyak pengalaman sudah membuktikan bahwa teman sekolah SD, SMP, SMA yang dulu ranking 5 besar tidak lebih sukses secara materi (punya bisnis, bekerja di perusahaan besar, hingga berpenghasilan baik) dari pada teman-teman yang dulunya biasa-biasa saja di kelas.

Problematika kesetaraan pengembangan kecakapan hard skill dan soft skill ini tenyata mendapat perhatian dari Menteri Pendidikan Indonesia yang baru menjabat di periode kedua pemerintahan Jokowi dan Ma’ruf, Nadiem Makarim.

Nadiem mencanangkan semangat “Merdeka Belajar” dengan mengganti ujian nasional (UN) yang selama ini mengikuti format silabus per mata pelajaran dari kurikulum sebagai tolak ukur kelulusan dan kecerdasan siswa untuk melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter sebagai syarat kelulusan yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.

Pengantian UN ini tidak serta merta di dukung oleh seluruh elit. Yusuf Kalla misalnya menganggap bahwa dengan mengubah UN menjadi sistem yang dicanangkan Nadiem akan membuat siswa lemah, Puan Maharani sebagai ketua DPR juga masih meminta kementerian pendidikan mengkaji lagi rencananya ini agar tidak merugikan siswa dan orang tua.

Berbeda pendapat dengan JK dan Puan, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti justru mendukung gagasan Nadiem karena ia berpendapat bahwa untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sudah tidak diperlukan lagi ujian nasional karena metode UN selama ini justru hanya mendorong siswa untuk menghapal saja.

Jika UN dihapuskan, maka siswa akan terbiasa belajar menggunakan penalaran dalam belajar.
Sistem UN pada sejatinya sudah bergulir bertahun-tahun dan menjadi sebuah kebiasaan turun temurun menghafalkan berbagai rumus, definisi, istilah-istilah, sejarah, dan lain sebagainya untuk mengisi puluhan soal ujian kelulusan pilihan ganda.

Memang dalam proses pembelajaran terjadi diskusi tapi untuk menentukan kelulusan, hafalanlah yang diandalkan. Untuk itulah perlu ada perombakan pola pikir yang berjalan beriringan dengan transformasi pendidikan agar pendidikan di Indonesia berfungsi maksimal.(*)

Anwar Tri Wibowo
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur


Next Post

Lingkungan Yang Baik Munculkan Pribadi Positif dan Potensial

Rab Jan 15 , 2020
Semarang – Lingkungan sangat berpengaruh terhadap sikap perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Jika lingkungan tempat tinggalnya baik, maka akan memunculkan […]