LEBAK – Mana yang lebih dulu dibangun, Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Provinsi JawaTengah (dibangun sekitar abad 8 Masehi) atau Lebak Cibedug di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (dibangun 2500 – 1500 Sebelum Masehi)? Atau, benarkah Tan Malaka, orang yang kali pertama menyebut Republik Indonesia, pernah menyamar jadi kuli di tambang batu bara Bayah bersama Herman Joseph Fernandez? Siapa pula Herman Fernandez? Dia seorang Katolik asal Nusa Tenggara Timur yang kini dalam proses pengusulan pahlawan nasional, pernah pula bekerja di Bayah, lalu berkenalan dengan Tan Malaka, dan jadi salah seorang pejuang kemerdekaan RI. Kalau Jepang tahu, mesti saja mereka ditangkap.
Benarkan pula, tambang emas PT Freeport di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, itu “meniru” PT Aneka Tambang Emas Cikotok, dalam praktik toleransi beragama, terkait dengan pembangunan rumah ibadah? Cukup spektakuler, memang. Kalau masjid dan gereja di PT Aneka Tambang, tempo hari, ada di satu lingkungan, di atas permukaan tanah, maka masjid dan gereja di PT Freeport ada di dalam perut bumi, berdampingan, di kedalaman 1,7 kilometer dari permukaan bumi. Kedua rumah ibadah ini jadi icon toleransi di salah satu tambang emas terbesar di dunia itu. PT Freeport, rupanya, memroduksi pula “emas” toleransi.
Ada pula romantik pembauran Eropa dan Banten dalam kisah kasih putra Sultan Safiuddin yang muslim dan putra seorang gadis anak seorang pejabat Francis yang Kristen. Juga. bagaimana kisah cinta seorang anak muda yang saleh, Umar, yang asli orang Cilangkahan dan Caterina, putri seorang pengusaha perkebunan asal Belanda yang menikah, tanpa persetujuan orang tua, tetapi kemudian jadi Haji Umar dan Hajjah Caterina?
Ada juga cerita Dewi Cintra Cleopatra yang diberi hadiah batu cincin kalimaya oleh Mark Antony. Batu kalimaya itu, mungkin bukan dari Kecamatan Maja, tetapi hanya terkait dengan kalimaya produk Kecamatan Maja. Kini, Maja tak sekadar tempat penggalian batu kalimaya, tetapi juga berkembang, dan didesain jadi kota mandiri, yang kemudian berdampak pada pertumbuhan pemeluk agama, sehingga dibangunlah dua masjid dan dua gereja, dan sempat terjadi penolakan atas pembangunan gereja, sebagaimana bisa dilihat pada bab “Ada Maja di Jalur KA Rangkasbitung – Tanahabang”. Maja pun ternyata sudah dihuni komunitas Kristen sejak tahun 1800-an, sebagaimana diceritakan dalam bab “Misionarisme : dari Rotterdam ke Desa Kanekes”.
Dokter Adjidarmo (kini, namanya jadi rumah sakit daerah Kabupaten Lebak) ternyata pernah menyelamatkan seorang pastor Gereja Katolik Santa Maria Tak Bernoda Rangkasbitung, zaman penjajahan Jepang dulu. Presiden Sukarno pun pernah memberi hadiah Alkitab kepada pastor gereja ini, dalam lawatannya ke Rangkasbitung tahun 1950-an. Pengamat di Lebak menyebutnya sebagai lambang kerukunan umat beragama.
Cerita semua itu bagian dari sisipan dan susupan dalam buku yang segera terbit, di bawah judul Potret Pemeluk Agama dan Rumah Ibadah di Kabupaten Lebak Tahun 2024. Buku setebal 291 halaman (ditambah 27 halaman Romawi) itu, judulnya memang terasa departemental dan formal, karena memang catatan serius jumlah pemeluk agama dan jumlah rumah ibadah di Kabupatern Lebak, tahun 2024. Namun, Dean Al-Gamereu, (dengan editor Drs. H. Ade Muslih), menulisnya dengan gaya bahasa jurnalistik, juga dimasukkan cerita-cerita ringan yang berkaitan dengan umat beragama.
“Jumlah masjid, gereja Kristen, gereja Katolik, dan Vihara, berikut jumlah pemeluk agamanya, akan diketahui dari buku ini,” kata Ketua FKUB Lebak, Drs. H. Zubaedy Haerudin, Selasa (17/12/24), saat membenahi ruang pameran untuk FKUB Lebak.
“Enam agama dan satu aliran kepercayaan dideskripsikan secara singkat, tanpa mempertentangkannya. Jadi, ini mirip buku perbandingkan agama pula,” tambah Haerudin.
Buku ini pun berisi latar belakang terbitnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, “Proses terbitnya PBM ini dibahas dalam buku ini, selama sekitar empat bulan, 11 kali pertemuan, dengan melibatkan seluruh tokoh agama,” kata Haerudin. “Jadi, kita tahu, PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 ini bukan produk Pemerintah, melainkan hasil kesepakatan para tokoh agama,”tambah Haerudin.
Selebihnya, buku yang terdiri dari 13 bab ini berisi profil para anggota FKUB Lebak, kegiatan FKUB Lebak seperti yang disiarkan media massa, juga berisi potret sekeping waktu tentang peristiwa-peristiwa foto bidikan FKUB Lebak. Potret sekeping waktu adalah bab khusus features foto. Prolog buku ditulis oleh dua analis perubahan sosial dan budaya di Kabupaten Lebak, Dr. H. Iyan Fitriyana S.H.I M.Pd. dan Epilog oleh Drs. H. Suhardja, M.Pd.
Buku ini terbit, tak diperjualbelikan, dan akan disebar ke kecamatan dan desa/kelurahan, juga akan disimpan di perpustakaan dan sekolah-sekolah. Rencananya, diakui Haerudin, cetakan kedua akan terbit pada tahun 2025, dan akan di-launching pada momen-momen tertentu. Cetakan pertama hadir untuk ikut memeriahkan Hari Amal Bakti Kemenag Lebak Tahun 2025, sekaligus akan digelar dalam pameran HAB Kemenag Lebak, akhir tahun 2024. (Dean Al-Gamereau).