Menakar Bahaya Program Bimtek dan Sertifikasi Da’i Kemenag


Jakarta – Dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR, yang disiarkan secara daring, Senin (31/5/2021) lalu. Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, pihaknya akan memberikan bimbingan
teknis (Bimtek) untuk meningkatkan kompetensi para pendakwah.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag), Kamaruddin Amin mempertegas pernyataan Menag itu, dan menyebut program sertifikasi da’i itu disebut dengan bimbingan teknis (bimtek) penceramah agama.

Sebenarnya ini bukan hal baru, tahun lalu Kemenag telah menghasilkan 8.000 da’i bersertifikat tersebar di 33 Provinsi. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menerapkan standardisasi da’i sejak Senin, 18 November 2019, meski dengan pola dan
tujuan yang berbeda.

Menyimak penjelasan Kamaruddin Amin, yang lebih menekankan pada Bimtek Penceramah Agama dengan ditambahi penjelasan bahwa substansi Bimtek itu adalah penguatan wawasan kebangsaan dan pengarus utamaan moderasi beragama (republika, 04/6/2021).

Artinya, tujuan utama dari Bimtek kali ini adalah penyeragaman nilai-nilai dan tafsir wawasan kebangsaan serta penyeragaman pemahaman dan metode keagamaan di Indonesia.

Muncul kekhawatiran akan adanya upaya pemerintah untuk melakukan penyeragaman
dalam menafsirkan pemahaman wawasan kebangsaan dan moderasi keberagaman di
indonesia kepada para da’i. Terlepas dari benar atau salahnya tujuan Bimtek ini, Kemenag belum menunjukan rumusan yang jelas tentang metode Bimtek dan materi bimtek, yang bisa diverifikasi dan dijadikan kesepakatan oleh pihak-pihak yang kompeten.

Sehingga menimbulkan dugaan, bahwa pemerintah melalui Kemenag bermaksud memaksakan tafsir tunggal versi pemerintah, dengan tidak melalui proses pengujian baik secara ilmiah, keagamaan, maupun sosial-budaya.

Belajar dari proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang pada akhirnya bukan menghasilkan kemaslahatan, malah memunculkan kemudharatan. Terlepas dari adanya kejelasan maksud dan tujuan TWK KPK sehubungan dengan proses alih status kepegawaian KPK, terbukti bila itu dilaksanakan dengan tanpa persiapan dan keterbukaan teknis dan materi, itu cenderung akan menjadi kemudharatan.
Apalagi dengan Bimtek da’i yang hingga tulisan ini dibuat, tidak terdapat kejelasan konsep, ke arah mana Bimtek dan Sertifikasi ini dibawa?.

Tentunya, da’i para peserta Bimtek nantinya tidak akan diarahkan untuk menjadi ASN. Dan para da’i juga bukan merupakan alat kelengkapan pemerintah yang di tempatkan di tengah kehidupan keagamaan masyarakat.

Sebab, penceramah atau da’i tidak bisa di jadikan sebagai alat kepanjangan tangan pemerintah ditengah masyarakat.

Jangan dilupakan, bahwa kewajiban menyeru pada kebaikan dan kebenaran berlaku umum atas setiap Muslim tanpa memandang profesi. Menyeru pada yang hak bukan sekadar tugas dan kewajiban pihak-pihak yang mendapatkan label “ulama”, “ustadz” atau da’i yang nantinya bersertifikat dari penguasa.

Islam mewajibkan setiap Muslim untuk bertanggung jawab kepada saudaranya dan segenap umat manusia. Salah satu wujud tanggung jawab yang dimaksud adalah dakwah. Dakwah dalam artian luas hukumnya wajib bagi Setiap pribadi Muslim yang telah balig dan berakal,
baik laki-laki maupun wanita, diperintahkan untuk berdakwah.

Dakwah adalah menganjurkan dan mengajak manusia ke jalan Allah SWT. Di dalamnya termasuk seruan amar makruf nahi mungkar sehingga Islam harus menjadi rahmatan lil’ alamin.

Da‘i secara umum adalah setiap seorang muslim atau muslimat yang mukallaf, dimana kewajiban da‘wah bagi mereka merupakan sesuatu yang melekat dan tidak terpisahkan misinya sebagai penganut Islam. Dalam hal ini, maka seorang da’i tidak terikat hanya pada kaum laki-laki, tapi bisa juga seorang perempuan, atau bahkan profesi tertentu, tapi
siapapun yang mampu mengajak, menyeru ke jalan Allah.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (Q.S: an-Nahl [16]: 125).

Rasulullah Saw. pun bersabda, “Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR al￾Bukhari).

Karena itu, pengemban dakwah tak perlu sertifikat dan Bimbingan teknis operasional. Apalagi jika program Bimtek dan sertifikasi da’i tersebut akhirnya malah mengaburkan esensi dakwah Islam dan menghalangi amar makruf nahi mungkar. Sebab, berdakwah pada
esensinya merupakan hak bagi setiap muslim. Yang berarti pula merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia tang beragama Islam. Menjadi tidak relevan bila kemudian pemerintah masuk terlalu jauh dengan turut campur ke dalam hak setiap warga negara.

Meskipun kemudian Kamarudin Amin menambahkan, bahwa bagi yang belum mengikuti Bimtek tetap boleh berceramah dengan catatan ceramah yang disampaikan adalah ceramah yang teduh damai dan mengajak kepada kebaikan dan persatuan, menghormati perbedaan.

Tetapi justru itu lah yang kemudian dalam jangka panjang mengandung “racun sosial” yang mempolarisasi masyarakat.
Di satu sisi ada da’i yang bersertifikat dan pada saat yang sama terdapat banyak da’i yang tidak bersertifikat misalnya, akan memunculkan diskriminasi bagi da’i yang tidak bersertifikat. Dalam konteks hubungannya dengan hak setiap muslim tadi, maka akan menimbulkan diskriminasi terhadap seorang muslim dalam melaksanakan hak-hak keberagamaannya. Akan ada seorang muslim yang melaksanakan hak keberagamaan yang
“bersertifikat”, dan ada muslim Indonesia yang tidak bersertifikat dalam melaksanakan hak keberagamaannya.

Pemerintah tidak bisa menjadikan da’i sebagai kepanjangan tangan untuk mengontrol situasi keberagamaan masyarakat kemudian menyebarluaskan tafsir wawasan kebangsaan dan pemahaman keagamaan, yang belum terverifikasi dari segi keilmuan, keagamaan, dan
sosial-budaya.

Semangat pemerintah untuk menjaga keutuhan dan ketahanan NKRI dari masuknya faham￾faham yang tidak sesuai dengan Pancasila bisa di fahami. Tapi semangat itu tidak lantas harus dinodai dengan upaya-upaya yang justru tidak konstitusional. Dalam kaitan ini KUHP
dan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, misalnya, bisa diterapkan selama dilaksanakan secara konsisten dan konstitusional.

Tugas pemerintah dan kewajiban negara untuk menjaga kesatuan bangsa, ketahanan
nasional serta mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak boleh dilakukan dengan melanggar hak-hak warga negara. Harus diingat, bahwa da’i dan tokoh agama merupakan modal sosial yang memiliki andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka harus dibiarkan berkespresi dan berartikulasi secara alamiah, selama masih berpegang teguh pada etika kehidupan beragama, bermasyarakat, dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Selama ini, lembaga-lembaga keagamaan dengan penceramah, da’i, kiyai dan ulama
didalamnya, terbukti berperan besar dalam menjaga keutuhan bangsa dan ideologi pancasila. Negara, dalam hal ini pemerintah, seharusnya malah menciptakan kemudahan dan iklim yang kondusif serta perlindungan keamanan, agar mereka bisa berperan maksimal
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga ketahanan nasional. Caranya dengan melakukan pembangunan ekonomi dan politk yang adil, penegakkan hukum sesuai kontsitusi, jaminan kesehatan dan pendidikan, serta menjamin terjaganya keamanan dan kehormatan bangsa.

Dengan demikian, maka Bimtek dan program sertifikasi da’i bukan hanya tidak relevan, tidak konstitusional, tapi juga berbahaya dalam jangka panjang dan merusak tatanan sosial￾keagamaan yang selama ini sudah terjaga dengan baik.

Oleh : Muhammad Yamin
(Direktur Lembaga Bantuan Hukum PP PERSIS)


Next Post

PT Taman Sari Akan Penuhi Tunggakan Pajak Rp 3.2 Miliar ke Pemkab Tangerang

Jum Jun 11 , 2021
Tangerang – Wajib Pajak PT Taman Sari Kecamatan Kelapa Dua Kabupaten Tangerang akan memenuhi tunggakan pajak PBB-P2 sebesar Rp 3,2 […]