Kasus Penistaan Agama Jangan Sampai Terulang Lagi


KORANTANGERANG.com – Kasus hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap telah menista agama Islam dengan mengutip surat Al-Maidah dalam pertemuan dengan warga di Kepulauan Seribu terus berjalan.

Pernyataan Ahok itu dinilai penistaan terhadap agama Islam, mengabaikan Pancasil,a dan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada juga yang menyebut, mantan Bupati Belitung itu tidak melakukan penistaan agama.

Menanggapi realitas tersebut Bendahara Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama (NU) Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, HM. Zainul Abidin HA, S.Ag menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan Ahok itu adalah tindakan yang merendahkan Al Qur’an sebagai kitab suci yang diimani oleh umat Islam.

“Setelah menyaksikan video pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu, ungkapan Gubernur DKI Jaya tersebut jelas nyata, merendahkan kitab suci Al Quran karena menganggap surat Al Ma’idah ayat 51 adalah kebohongan,” ujar kader NU itu.

Pernyataan Gubernur DKI Jaya tersebut, tambah Zainul, jelas bernuansa SARA dan tergolong penistaan terhadap agama Islam. Demi ketenteraman umat Islam, demi kerukunan antar umat beragama, dan demi tetap terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa, hukum harus benar-benar ditegakkan sesuai undang-undang yang berlaku, agar tidak terjadi hal-hal yang amat tidak kita inginkan.

Menurut Zainul, Pernyataan Gubernur DKI Jakarta dalam sebuah acara resmi pemerintah daerah dengan merujuk pada ayat suci Al Quran sangatlah tidak perlu, tidak relevan, dan tidak tepat. “Dia itu non-muslim lantas untuk apa membedah Al Qur’an yang tidak diimaninya? Karena itu saat proses hukum tengah berjalan alangkah arifnya jika Ahok dan pendukungnya tidak menyalahkan orang banyak yang merasa tersinggung. Namun, introspeksi diri adalah langkah yang lebih bijak dan dewasa.

“Kesantunan dalam segala hal merupakan langkah terbaik untuk membina persatuan dan kesatuan di antara kita dalam hidup berbangsa dan bernegara. Janganlah kebiasaan kita berucap kasar akan merusak tatanan kebhinnekaan yang sudah berjalan dengan baik,” imbuhnya.

Ke depan, masih kata Zainul, semoga tidak terulang lagi kasus penistaan agama oleh siapapun. Apalagi oleh pejabat publik. “Kita harus saling menghormati dan menghargai di setiap dimensi kehidupan. Agar keutuhan dan kebhinekaan kita tetap terjaga, terawat, dan semakin kokoh untuk menghadapi persaingan global yang kian kompetitif,” jelasnya.

bHM. Zainul Abidin HA, S.Ag berharap semoga apa yang kita alami saat ini menjadi pelajaran berharga buat kita semua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi payung hukum yang tidak tebang pilih. Payung hukum yang tidak seperti pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. (Jamiel Loellail Rora)


Next Post

Jahroh, Pulang Nak Ibu Merindukanmu

Sen Jan 9 , 2017
korantangerang.com – Keluarga Raudatul Jahroh (24) saat ini sedang cemas menunggu kabar sang putri tercinta. Sebabnya, sejak akhir tahun atau […]